Senin 26 May 2014 21:13 WIB

Warga Tolak Penutupan Dolly Meski Akan Diberi Kompensasi

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Muhammad Hafil
Suasana di Gang Dolly, Surabaya
Foto: Antara
Suasana di Gang Dolly, Surabaya

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan warga lokalisasi prostitusi Dolly, Surabaya, Jawa Timur (Jatim), tidak menyetujui penutupan lokalisasi tersebut dan menolak kompensasi yang ditawarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

Koordinator Rukun Warga (RW) 11,3,10,12, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kamsir Yudosusilo mengakui, pihaknya memang sempat bertemu dengan Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana beberapa pekan lalu. Pada pertemuan tersebut, kata dia, Wisnu mengatakan janji bagi yang mau menutup Dolly 19 Juni 2014 akan mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan penghasilan warga saat lokalisasi masih didirikan dan berlaku selamanya.

Jika suatu saat tidak sesuai maka warga maupun pengelola boleh membuka wisma kembali. Wisnu disebutnya juga mengiming-imingi warga dengan pekerjaan di Pemkot Surabaya maupun pabrik. Sedangkan, yang tidak mau atau menolak menutup Dolly tidak akan dapat program kompensasi.

“Tawaran tersebut merupakan pembodohan dan tidak logis karena kompensasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta saja sampai hari ini belum mampu disesesaikan oleh Pemkot Surabaya di dua wilayah lokalisasi yang sudah ditutup,” katanya saat konfrensi pers di Surabaya, Senin (26/5).

Pernyataan itu dilontarkannya karena pihaknya melihat kondisi lokalisasi Dupak Bangunsari dan Klakah Rejo pascapenutupan. Kamsir mengklaim janji kompensasi maupun ekonomi bagi warga maupun orang-orang di Dupak Bangunsari dan Klakah Rejo pada prakteknya terbukti telah gagal oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Adapun dana kompensasi tidak sesuai dengan jumlah yang dijanjikan dan sebagian lainnya malah tidak mendapatkan kompensasi apapun.

Termasuk pemberian program keterampilan yang asal-asalan, tidak maksimal, dan tidak diberikannya bekal manajemen usaha maupun akses pasar yang jelas dan terogarisir dinilainya hanya menghasilkan pemiskinan dan pengangguran.

Pihaknya juga skeptis dengan pernyataan Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya Dwi Purnomo yang yang menjanjikan pekerjaan kepada para pekerja di lokalisasi dan warga sekitar lokalisasi jika pihaknya menerima rencana penutupan lokalisasi. Padahal, kata dia, kenyataannya sampai saat ini perusahaan masih menerapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, outsorcing, sistem kontrak, gaji di bawah upah minimum kota (UMK) Surabaya, tidak adanya jaminan sosial masih menjadi persoalan perburuhan di Surabaya belum mampu diselesaikan Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya. Parahnya, kata dia, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono tidak berani menghapus sistem kerja kontrak maupun outsorcing.

Menurutnya, selama sistem perburuhan masih belum menganut asas perlindungan dan kepastian hukum,maka tidak ada jaminan terhadap pekerja seks komersial (PSK), pekerja,maupun lokalisasi untuk terus bekerja di pabrik tersebut dan mendapatkan hak-haknya.

Sementara itu Ketua Umum FPL Suyitno mengatakan, pertemuan antara warga dengan Wakil Wali Kota Surabaya merupakan pertemuan yang tidak memenuhi asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, hingga asas profesionalitas. “Untuk itu kami menolak rencana penutupan lokalisasi dan menolak segala bentuk tawaran maupun kompensasi yang kami nilai tidak rasional dan tidak obyektif,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement