Oleh: Laily Dwi Arsyianti*
Shirazi (1994) menerangkan bahwa menurut ulama Syafi'ie dan Hambali, faqir merujuk pada seseorang yang tidak mempunyai kekayaan maupun pendapatan.
Sementara miskin adalah seseorang yang tidak mampu memuaskan lebih dari separuh kebutuhan pokok meskipun ia memiliki pendapatan.
Sadeq (2002) dalam surveinya menemukan bahwa jika ekonomi Islam berjalan dengan baik, maka tidak akan terjadi kesenjangan yang ekstrim karena jaringan distribusi terhubung dengan baik antara satu dan lainnya.
Sehingga, terdapat konsensus di antara pakar Muslim bahwa zakat mampu menjadi jalan untuk menghapus kemiskinan.
Mengapa zakat?
Pertanyaannya adalah, mengapa harus dengan zakat? Bisakah zakat dapat mengentaskan kemiskinan yang bersifat multidimensi tersebut, baik kemiskinan material, kemiskinan spiritual, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural?
Jika menelaah secara lebih dalam, zakat adalah jawaban terhadap permasalahan kemiskinan multidimensi tersebut.
Secara struktural, zakat merupakan instrumen yang akan mengalirkan kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok msikin, dan mendorong adanya pemerataan dan keadilan ekonomi.
Secara kultural, zakat akan mendorong produktivitas dan etos kerja, karena muzakki itu pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang produktif dan bukan pemalas. Hal ini sebagaimana yang Allah nyatakan dalam QS al-Mukminun: 1-4.
Karena itu, gerakan zakat pada dasarnya adalah gerakan untuk merubah perilaku, dari perilaku malas menjadi perilaku produktif.
Secara material, dengan potensi zakat yang sangat besar, yang mencapai angka Rp 217 triliun, zakat bisa menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi produktif mustahik, sehingga mereka punya peluang untuk mengangkat level pendapatannya.
Secara spiritual, semangat berzakat dan berbagi akan membersihkan jiwa dan kepribadian seseorang, sehingga jiwa mereka akan dibersihkan dari berbagai macam penyakit, termasuk penyakit rohani (QS 9: 103), seperti penyakit ke musyrikan (QS 41: 6-7).
Dengan demikian, konsep zakat merupakan konsep yang sangat komprehensif dalam mengatasi kemiskinan. Apalagi jika kewajiban ini diikuti dengan semangat untuk berinfak, bersedekah dan berwakaf. Wallahu a’lam.
*Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB