Oleh: Nashruddin Syarief MPd
Menurut Ibn Taimiyyah, thuruq al-’ilm itu ada tiga: khabar, akal dan indera. Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati (Dar` Ta’arud al-Aql wa al-Naql, jilid 1, hlm. 178 dan jilid 7, hlm. 324).
Terhadap teori kasyf (iluminasionisme), Ibn Taimiyyah menyatakan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilham tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat.
Karena selain sama-sama berasal dari Allah SWT, khabar ini juga di sampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi.
Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah SWT kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berben turan dengan ilham yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (Dar` Ta’ârud, jilid 8, hlm. 46).
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hakim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissi (indera), wahmi (intuisi), dan aqli (akal).
Menurut al-Ghazali, ketika hakim wahmi itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmi dari orang yang dikuatkan oleh Allah SWT dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah SWT disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haq (Mi’yâr al-’Ilm fî Fann al-Mantiq, hlm. 2-3).
Al-Ghazali tidak menyebutkan kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya.