REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK terhadap Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang tidak seharusnya dicampur dengan persoalan niatan maju capres.
"Itu dimensi politik. Ini (kasus) konstruksi suap dan gratifikasi," ujar Koordinator Divisi Investigasi, Indonesian Corruption Watch, Tama S Langkun kepada Republika Online (ROL), Sabtu (31/5).
Ia menuturkan variabel pertama mengenai bukti benar tidaknya penerimaan suap itu yang perlu ditelusuri. Sementara, capres itu variabel lain. "Dalam penerimaan (suap) betul tidak dia (Anas) sebagai penyelenggara negara. Setelah itu maka masuk fase berikutnya," ungkapnya.
Menurutnya, sesudah pembuktian di level penerimaan (suap) dan kemudian bergerak melakukan sesuatu. Maka baru masuk pada tahap pencucian uang.
Ia menuturkan pada variabel pencucian uang (penelusurannya) harus lebih ekstra. "Tantangannya akan lebih menarik karena soal penerimaaan suap itu sudah terbantu oleh sidang sebelumnya," ujarnya.
Tama mengatakan jika ternyata pihak yang diuntungkan bukan personal yaitu terdakwa saja akan tetapi pihak lain semisal partainya. Maka partai bisa menjadi objek yang dijerat. "Itu menjadi pertaruhan," ungkapnya.
Namun menurutnya, boleh saja JPU menyampaikan dakwaannya terhadap Anas terkait modal maju (Anas) sebagai capres di pilpres. "Itu mungkin bagian dari keterangan. Itu boleh-boleh saja. Yang penting dibuktikan itu penerimaan (suapnya)," ungkapnya.
Ia mengatakan sejauh ini pembuktian bukan hal yang mudah. Namun, KPK mempunyai pertimbangan yang kuat dan cukup membawa kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dengan terdakwa Anas ke persidangan. "Membuktikan KPK punya informasi yang cukup," katanya.