REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Ciina terus melakukan penindasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap kaum minoritas Muslim Uighur di Xinjing. Pelanggaran HAM dan pembunuhan massal atas fisik dan budaya Muslim Uighur dilakukan secara sistematis.
"Muslim Uighur semakin tertindas dan marah atas perlakuan keras Beijing," kata Alim A Seytoff, juru bicara Kongres Uighur Dunia seperti dikutip Aljazeera, Selasa (3/6).
Pemerintah Cina, kata Alim, telah bertindak seperti gaya Pemerintahan Apartheid ala Afrika Selatan di zaman dahulu. Tak heran, jika sampai kapan pun Muslim Uighur terus akan melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Komunis Cina.
Alim menyebut setidaknya ada delapan alasan mengapa Uighur tidak akan berhenti mencapai kemerdekaan mereka dengan memerangi Cina. Alasan-alasan ini saling berkait satu sama lain sehingga saling menguatkan.
Pertama, kata Alim, cap Cina sebagai penjajah semakin menguat. Cina menganggap wilayah Xinjiang merupakan bagian mereka, namun hal ini ditolak warga Uighur.
Pada Oktober 1949, Jenderal wang Zhen datang ke Republik Turkistan Timur untuk menjajah. Dengan dukungan penuh Uni Soviet, Jenderal Wang membantai warga Uighur. Puluhan ribu Muslim Uighur tewas dan Republik Turkistan Timur jatuh ke Cina, diganti menjadi Xinjiang yang berarti "teritori baru".
Kedua, Alim menjelaskan Pemerintah Komunis Cina melakukan genosida terhadap budaya Uighur. Ini meliputi pembunuhan massal atas bahasa, tradisi, nilai-nilai agama, simbol agama, kebiasaan, adat, dan kehidupan asli warga Uighur sebagai entitas besar di Republik Turkistan Timur.
Cina telah memaksakan kehendak dengan menjadikan Bahasa Cina sebagai satu-satunya bahasa pengantar di Xinjing. China menolak dan membatasi ketat sekolah-sekolah Islam yang mengajarkan sejarah dan nilai-nilai keislaman.
Ketiga, sambung Alim, kekerasan Pemerintah Cina yang terorganisasi dan sistematis membuat warga Uighur terus melawan Beijing. Kebijakan Cina yang memandang persatuan lebih penting dari hak asasi manusia (HAM), membuat mereka menghalalkan segala cara untuk menindak protes dan perlawanan Uighur.
Cina lebih suka memakai cara-cara keras untuk menghadapi protes warga atas kesenjangan. Cina lebih memilih senjata daripada pendekatan persuasif untuk memberikan pengertian kepada Muslim Uighur.
Pada kasus kekerasan yang belakangan terjadi, Alim mengatakan telah dibuat berlebihan oleh China. Beijing bahkan telah menuding pelakunya warga Uighur padahal belum ada bukti serta pengakuan dari kelompok-kelompok Muslim Uighur.
Keempat, kata Alim, Cina hanya memberikan otonomi daerah sebagai omong kosong. Faktanya, China memberlakukan kebijakan sentralisasi baik dalam politik, ekonomi, militer, keuangan, budaya, hingga pendidikan. Otonomi hanya tinggal nama.
Kelima, Cina mengkriminalisasi pemakaian bahasa Uighur yang tidak sesuai dengan aturan. Bangsa Uighur dilarang keras menyebut kata Republik Turkistan Timur sebagai negara asli mereka. Cina memaksa penggunaan kata Xinjing sebagai sebutan baru bagi wilayah itu.
Keenam, Alim mengungkapkan, terjadi kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi terhadap Muslim Uighur di Xinjing. Wilayah kaya energi itu tidak mengalami kenaikan taraf kehidupan yang lebih baik. Hasil energi dirampas semua oleh Beijing.
"Perusahaan-perusahaan Cina yang dikuasai etnik Han tidak pernah menerima pegawai Muslimi Uighur. Mereka lebih memilih membawa keluarga mereka dari wilayah lain ke Xinjing," kata Alim.
Izin-izin usaha etnik Uighur dipersulit. Ekspansi usaha mereka pun dibatas, termasuk sektor-sektor yang dikuasai mereka.
Ketujuh, Uighur marah atas Han-isasi Xinjing di mana Pemerintah Cina memindahkan jutaan warga Han dan tinggal di Xinjiang. Kini, jumlah etnik Uighur dan Han sama banyak, masing-masing sekitar 10 jutaan.
Kedelapan, dari sisi pemerintahan lokal, posisi Uighur semakin terkepit oleh Han. Cina komunis memang sengaja melakukan ini agar Muslim Uighur semakin terusir dari tanah mereka.
Pemerintah Cina pun membuat kebijakan untuk mengusir Muslim Uighur dari Xinjing dan menempati wilayah-wilayah Cina lainnya.
Alim berkeyakinan, sampai kapan pun Muslim Uighur akan terus melawan Cina. "Sampai kami merdeka," kata Presiden Asosiasi Uighur Amerika itu.