REPUBLIKA.CO.ID, Apabila kita mencermati hadis tentang wakaf Umar di atas, bahwa harta wakaf itu tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan.
Namun yang menjadi persoalan, apabila harta wakaf menjadi berkurang atau rusak atau tidak memenuhi fungsinya sebagai harta wakaf untuk tujuan tertentu, apakah benda tersebut harus dipertahankan?
Sebab, apabila ketentuan tidak boleh dijual itu dipertahankan secara mutlak, bisa berakibat harta tersebut tidak berfungsi sama sekali sehingga tujuan wakaf pun tidak tercapai.
Amalan wakaf sangat tergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya.
Bahwa pahala wakaf yang akan terus menerus mengalir sampai pun orang yang berwakaf itu telah meninggal dunia, adalah wakaf yang bisa dimanfaatkan sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Apabila manusia mati terus terputus amal darinya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyab, atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakan kepadanya.” (HR Muslim)
Oleh karena itu, harta wakaf yang menjadi berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi fungsinya sebagaimana yang dituju, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi.
Di dalam fikih Islam dikenal prinsip maslahah (memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan).
Dengan menggunakan pendekatan istihsan akan memberikan jalan keluar dari hukum harta wakaf yang tidak boleh dijual itu (sebagaimana hadis riwayat Ibnu Umar) dipalingkan dari ketentuan hukumnya karena ada alasan-alasan yang mendesak, seperti letak lahan yang tidak strategis, jauh dari pemukiman, ada lahan lain yang lebih strategis dan para wakif setuju jika tanah yang tidak strategis itu dijual.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah