REPUBLIKA.CO.ID, Maka berdasarkan alasan ini, bisa saja tanah itu dijual, kemudian harga penjualannya dibelikan atau digunakan untuk menyelesaikan gedung sekolah di lahan tanah yang lebih strategis dan lebih mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf.
Sehingga benda penggantinya itu berkedudukan sebagai harta wakaf (uraian senada bisa dibaca dalam Azhar Basyir, MA, Hukum Islam tentang Wakaf, Syirkah, Ijarah, halaman 19, Muhammad Abu Zahroh, Muhadarat fi al-Waqaf hlm 392, M. Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, III: 392).
Selanjutnya, persoalan yang berkaitan dengan pergantian harta wakaf ada dua macam. Pertama, penggantian karena kebutuhan. sebagai contoh adalah tanah wakaf yang ada di wilayah Bapak (Baturetno) karena letaknya yang tidak strategis jika akan dibangun sekolahan, sementara sudah dapat ganti tanah wakaf yang lebih strategis, maka tanah itu boleh dijual dan hasil penjualannya dipergunakan untuk membangun sekolahan sebagaimana tujuan wakaf semula.
Kedua, penggantian karena kepentingan yang lebih kuat. Misalnya, membangun masjid untuk mengganti yang lebih layak bagi penduduk kampung, maka masjid yang pertama (yang juga berasal dari wakaf) dijual dan hasilnya untuk mendirikan masjid yang baru di tempat yang baru.
Hal ini sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat yang baru dan tempat yang lama itu dijadikan pasar bagi para penjual tamar (as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, III: 386).
Masalah penggantian ini pernah juga dilakukan oleh Pimpinan Muhammadiyah Bidang Wakaf Cabang Kotagede, Yogyakarta, yaitu sebuah mushalla yang pemanfaatannya kurang efektif, sementara sudah ada masjid di sekitarnya.
Maka Pimpinan Muhammadiyah meminta izin kepada ahli waris wakif, setelah diizinkan akhirnya tanah tempat mushalla itu berdiri dijual dan hasilnya diperuntukkan membangun gedung SD.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah