Selasa 03 Jun 2014 20:16 WIB

Negara Harus Siapkan Program Perlindungan Sosial Terintegrasi

Petugas menyortir kartu BPJS kesehatan warga binaan Sosial (WBS) pada acara penyerahan kartu BPJS Kesehatan di Jakarta.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Petugas menyortir kartu BPJS kesehatan warga binaan Sosial (WBS) pada acara penyerahan kartu BPJS Kesehatan di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi terbatas tentang isu sistem perlindungan sosial (social protection) bagi warga Negara di Jakarta, Selasa (3/6).

Kegiatan ini mengundang jurnalis dari berbagai media yang biasa meliput isu sosial ekonomi, bertujuan untuk menyerap aneka pandangan, perkembangan, serta kelemahan program perlindungan sosial dari pemerintah Indonesia, dan membandingkan dengan sistem perlindungan sosial di negara lain.

 

Sejak awal 2013, pemerintah mengeluarkan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, pekerja formal dan informal, yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan serta program perlindungan tenaga kerja yang semula dikaver Jamsostek. Saat ini program tersebut berubah menjadi BPJS bidang Ketenagakerjaan.

 

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait sistem perlindungan sosial. Sebut saja program Bantuan Tunai Langsung (BLT), Beras Untuk Orang Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan, Kredit Untuk Rakyat (KUR), dan lain-lain. Hal ini dalam upaya meningkatkan kemampuan ekonomi dan memberikan perlindungan sosial bagi warga negara. Program BLT pemerintah saat ini diadopsi oleh beberapa negara di benua Afrika.

 

“Di Indonesia, sistem perlindungan sosial mencakup dua hal, asuransi sosial dan bantuan sosial.  Bantuan sosial, contohnya program raskin diambil dari pajak dan diberikan cuma-cuma untuk orang miskin. Sedangkan Asuransi sosial, seperti asuransi pada umumnya dimana peserta harus membayar premi,” ujar John Rook, spesialis bidang perlindungan sosial atau Senior Social Protection Adviser for the Australian Government funded Poverty Reduction Support Facility (PRSF).

 

Direktur Economy Policy Research Institute (EPRI), yang bermarkas di Cape Town Afrika Selatan, Dr Michael Samson mengatakan, sistem perlindungan sosial merupakan instrumen yang bisa digunakan untuk menurunkan kemiskinan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan membangun lingkungan sosial dan politik yang stabil. Kondisi tersebut terjadi di Nepal. 

 

“Sistem Perlindungan sosial bukanlah anekdot tapi terbukti mampu menstabilkan ekonomi negara. Lima puluh-enam puluh tahun lalu, Nepal lebih miskin dari Indonesia. Melalui program //social protection mereka berkembang dalam 15 tahun terakhir,” kata Samson.

 

Namun demikian, menurut Samson, banyaknya program perlindungan sosial di Indonesia, belum mampu melindungi seluruh warganya, disebabkan banyaknya warga yang bekerja di sektor informal. “Jika pemerintah dan elite politik membuat program yang efektif dan terintegrasi, maka rakyat bisa menikmati keuntungan yang besar.”

 

Pendapat lain dikemukakan Paul Rowland, seorang analis politik asal Kanada, yang mengatakan perlindungan sosial harus menjadi bagian dari isu yang harus diusung dan dipertajam oleh partai politik.

Paul menegaskan, saat ini belum ada parpol yang punya kebijakan khusus atau usulan konkret tentang perlindungan sosial warga negara.

 

“Indonesia bukan negara miskin, hanya saja belum mampu mengkonsolidasikan kekayaannya dan belum mampu mengimplementasikan program perlindungan sosial secara benar dan terintegrasi,” ujar Paul.

 

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Eko Maryadi mengingatkan pemerintah agar memberlakukan program layanan perlindungan sosial yang efektif, terintegrasi dan memberikan maanfaat bagi seluruh warga negara.

 

”Termasuk perusahaan media, wajib memberikan perlindungan sosial berupa asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja, tabungan hari tua atau pensiun seperti yang diamanatkan UU SJSN dan Ketenagakerjaan,” ujar Eko.

 

Eko menyebutkan sebagian besar jurnalis terutama yang berstatus kontributor atau koresponden atau stringer/freelancer tidak mendapatkan perlindungan memadai dari perusahaan yang mempekerjakannya. Padahal, sistem perlindungan sosial membuat jurnalis bisa bekerja dengan tenang dan produktif.

 

“Melalui workshop terbatas ini para jurnalis bisa mendapatkan pengetahuan terbaru tentang sistem perlindungan sosial di berbagai negara. Jurnalis juga bisa menulis isu perlindunngan sosial termasuk kelemahan dan bagaimana social protection ini harus diperjuangkan melalui pemberitaan di media,” kata Eko.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement