REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS) Chuck Hagel pada Selasa (3/6) mendesak negara-negara sekutu yang tergabung dalam NATO untuk meningkatkan anggaran pertahanannya sebagai respons atas krisis Ukraina. Hagel mengatakan penurunan belanja militer dapat menjadi ancaman bagi aliansi tersebut.
"Kita tidak boleh mundur dari tantangan ini. Kita harus memastikan kembali keamanan yang menjadi dasar terbentuknya aliansi ini," kata Hagel sebagaimana dikutip dari teks pidato pertemuan para menteri pertahanan NATO di Brussel.
Sebanyak 28 negara anggota NATO kini sedang mempelajari langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat keamanan di perbatasan timur dan memperbaiki kemampuan menghadapi taktik baru Rusia yang digunakan di Krimea.
Pada saat bersamaan, Gedung Putih mengungkapkan rencana senilai satu miliar dolar AS untuk mengirim tentara tambahan ke Eropa. Termasuk dalam rencana tersebut ialah keterlibatan mendalam Amerika Serikat dalam latihan bersama, penempatan perencana militer, dan pengiriman kapal-kapal perang di Laut Hitam dan Laut Baltik.
Hagel mendesak NATO untuk mengatasi konsekuensi menakutkan dari tren penurunan belanja pertahanan. Konsekuensi yang dalam jangka panjang akan menjadi ancaman berat. Dia mengatakan bahwa penilaian rahasia terhadap kemampuan militer NATO saat ini, yang dipresentasikan dalam pertemuan para menteri pertahanan adalah sebuah realitas yang suram.
Sebagian besar anggota NATO mengurangi belanja militernya karena harus menghadapi krisis finansial. Hanya sebagian kecil dari mereka yang memenuhi target anggaran pertahanan sebesar dua persen dari produk domestik bruto. Beberapa negara seperti Latvia, Lithuania, dan Romania telah mengumumkan rencana untuk menaikkan anggaran militernya sebagai respons atas krisis Ukraina.
Presiden Polandia Bronislaw Komorowski mengatakan pada Selasa bahwa dia akan meminta pemerintah untuk meningkatkan belanja militer sampai dua persen dari produk domestik bruto. Polandia juga meminta NATO untuk membangun pangkalan militer permanen di wilayahnya.
Namun, negara anggota lain keberatan karena pertimbangan biaya dan dinilai dapat memicu reaksi dari Rusia. Rusia sendiri mengatakan bahwa pembangunan pangkalan militer permanen di Eropa timur akan melanggar perjanjian 1997 dengan NATO.