Jumat 06 Jun 2014 22:45 WIB

Ditemukan Cara Memastikan Gigitan Ular Berbisa atau Tidak

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Seorang ilmuwan Australia berhasil menemukan cara memastikan gigitan ular memancarkan racun/bisa (envenomation) atau tidak. Caranya melalui metode tes darah sederhana.

Temuan ini memberikan harapan penanganan kasus gigitan ular yang lebih baik dan dasar penciptaan perangkat atau kit pendeteksi bisa ular yang murah. Penemuan ini akan memperbaiki secara dramatis penanganan kasus pasien gigitan ular di daerah perdesaan tropis. Terutama di negara-negara berkembang dimana kasus gigitan ular masih menjadi isu kesehatan utama.

Cara kerja metode ini, belum lama diterbitkan dalam media Nature Scientific Reports, yang dipresentasikan pekan ini di Pertemuan Masyarakat Riset Kedokteran Australia di Sydney.

Peneliti senior dalam riset ini, Dr Geoffrey Isbister, dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat Universitas Newcastle mengatakan, antiracun atau antivenom untuk pasien gigitan ular sering kali terlambat diberikan sampai gejala-gejalanya keracunan bisa ular  muncul. Dan kondisi itu terkadang kadang sudah sangat terlambat untuk ditangani. "Kita perlu mengidentifikasi gigitan ular memancarkan bisa atau tidak (envenomation) selekas mungkin setelah seseorang terkena gigitan,” katanya, baru-baru ini.

Isbister mengatakan saat ini gejala envenomation banyak didasarkan pada kondisi penampakan fisik korban, seperti pasien merasa kesakitan, padahal tidak semua gigitan ular yang mengandung bisa memberikan reaksi seperti itu. Sebaliknya sesaat setelah gejala kelumpuhan dan kerusakan otot muncul, maka kondisi tersebut sudah tidak bisa dikembalikan oleh antiracun ular.

"Banyak orang mengira antiracun itu benda ajaib, padahal dia tidak mampu menetralkan semua kasus keracunan bisa ular,”katanya.

"Antiracun perlu secepatnya disuntikan sebelum racun/bisa ular menyebar ke otot atau sebelum mencapai saraf dan membuat kerusakan,”

Kasus gigitan ular cukup luas, sampai-sampai WHO sekitar 4 tahun lalu memasukannya dalam daftar penyakit tropis.

Isbister mengatakan ada 1 -2 juta kasus gigitan ular yang mengeluarkan racun/bisa, dengan potensi tingkat kematian mencapai 100 ribu orang di seluruh dunia.

Pengobatan gigitan ular saat ini sering kali terhambat oleh ketersediaan antiracun; laju reaksi yang tinggi untuk antiracun; dan kesulitan dalam mendiagnosis envenomation untuk memungkinkan pengobatan antiracun dini.

Isbister mengatakan pengembangan tes diagnostik murah untuk menentukan gigitan ular berbisa atau tidak yang dapat dilakukan di samping tempat tidur sangat penting dalam menangani masalah ini.

Alat deteksi Murah

Untuk studi terbaru ini Dr Isbister dan tim, termasuk Dr Margaret O'Leary di Rumah Sakit Newcastle Kalvari Mater dan Dr Kalana Maduwage dari Universitas Peradeniya - Sri Lanka, memfokuskan penelitian pada enzim umum yang terdapat dalam racun/bisa ular, yaitu fosfolipase A2 ( PLA2 ) .

Dengan menggunakan sampel dari pasien gigitan ular yang terkonfirmasi di Sri Lanka dan Australia, mereka memeriksa sampel itu untuk melihat apakah PLA2 dapat dideteksi dalam darah .

Sampel pra - antiracun juga turut dikumpulkan dari sampel gigitan berbisa yang dikumpulkan dari sejumlah ular berbisa yang digunakan dalam riset ini diantaranya, ular Russell Viper, hump-nosed pit viper, Kobra India, Indian krait and five red-bellied black snake.

Sampel-sampel ini kemudian dibandingkan dengan tingkat PLA2 dalam kelompok pasien  gigitan ular yang tidak mengandung bisa.

Isbister mengatakan kadar PLA2 meningkat pada semua orang yang telah digigit dan disuntik dengan racun/bisa ular.

Dia mengatakan dengan ditemukannya cara untuk mengkonfirmasi gigitan ular mengandung bisa atau tidak ini, maka hanya pasien yang membutuhkan antiracun saja yang akan menerimanya.

Hasil temuan ini juga dianggap akan sangat berguna di negara-negara  maju seperti Australia dimana antiracun tersedia di lebih dari 90% rumah sakit.

Dari ribuan kasus gigitan ular yang dilaporkan ke rumah sakit di Australia, hanya sekitar 10 % saja yang gigitannya mengandung racun bisa.

Isbister mengatakan temuan ini siap ditindaklanjuti oleh penelitian berikutnya yakni pengembangan pengujian perangkat/kit yang murah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement