REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDI Perjuangan Guruh Sukarnoputra mengaku sudah mengingatkan Joko Widodo (Jokowi) agar tidak meninggalkan ajaran Sukarno jika terpilih menjadi presiden.
"Saya sampaikan ke mas Jokowi, tolong jangan tinggalkan ajaran Bung Karno," kata Guruh di sela peringatan 113 Tahun Kelahiran Bung Karno di kediamannya Jalan Sriwijaya Raya, Jakarta Selatan, Kamis (5/6) malam.
Guruh tidak menyebut secara spesifik ajaran seperti apa yang dimaksud. Dia hanya mengatakan bahwa kepemimpinan bangsa hendaknya selalu menjunjung tinggi nilai Pancasila.
Seniman itu lalu mencontohkan dalam konteks kekinian bangsa Indonesia patut mengambil pesan Bung Karno yang penuh nilai luhur. Baik dalam konteks kebangsaan mau pun keagamaan.
"Seperti halnya ketika Bung Karno pernah mengungkapkan bahwa Islam bukan sebatas ajaran yang hanya menekankan pada aktivitas ritual tanpa muatan revolusioner," ujar Guruh.
Dia juga mengingatkan, saat ini ada satu hal proses demokrasi yang telah menyalahi ketentuan sila keempat Pancasila. Yaitu pola pilpres yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Bagi Guruh, presiden seharusnya dipilih melalui sebuah musyawarah mufakat. Hal itu jelas tertulis dalam sila kempat Pancasila dan dipedomani dalam Islam.
"Saya itu tidak setuju pemilu langsung, karena bertentangan dengan Pancasila sila keempat. UUD 1945 itu kan sempat dilakukan amandemen. Isinya, batang tubuhnya, diobok-obok, lalu berubah lah struktur negara, sistemnya dan lain-lain," ujar dia.
Dia menekankan sila keempat Pancasila memiliki arti Indonesia menganut demokrasi terpimpin sekaligus perwakilan. Sedangkan pemilu yang dilakukan secara langsung sudah merupakan pemilu liberal yang dianut oleh negara kolonial.
"Pemilu langsung itu demokrasi liberal. Dulu presiden menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN, sekarang presiden menjalankan visi-misinya. Bayangkan setiap ganti presiden, berganti pula visi-misinya, jadi lebih banyak kemudaratannya dari kebaikannya," kata dia.
Guruh kemudian meminta UUD 1945 dikembalikan lagi ke asalnya, sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dicetuskan Sukarno.