Sabtu 07 Jun 2014 23:48 WIB

Penutupan Dolly Harus Diiringi Pembinaan Akidah Akhlak

Rep: c78/ Red: Muhammad Hafil
Para PSK di Dolly yang dipajang untuk dijajakan kepada lelaki hidung belang.
Foto: Antara
Para PSK di Dolly yang dipajang untuk dijajakan kepada lelaki hidung belang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam situasi dan kondisi apapun, penutupan lokalisasi prostitusi yang jelas merupakan tempat maksiat adalah wajib. Namun, lokalisasi berkaitan dengan manusia yang ada dan mencari penghidupan di dalamnya. Makanya, upaya penutupan lokalisasi Dolly harus harus dibarengi pembinaan akidah dan akhlak, selain juga dibekali keterampilan wirausaha. 

“Banyak tantangan yang akan dihadapi ketika kemaksiatan yang lama menggurita mendadak ditutup, terutama masalah sosial eks-PSK dan profesi yang terkait Dolly,” kata Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Muda Harvick Hasnul Qolbi kepada Republika pada Sabtu (7/6).

Keberadaan lokalisasi dolly disulut oleh pembiaran masalah sosial oleh pemerintah di antaranya masalah kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat, tingkat pendidikan, pemerataan keadilan, pemerataan kesempatan berusaha yang sama bagi semua pihak, serta pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi yang bertanggung jawab. “Satu lagi yang terpenting adalah masalah pembinaan akidah dan akhlak,” ujarnya.

Maka dari itu, negara harus berdaulat dalam menjalankan peraturan serta kebijakan yang mengatur soal itu semua serta dapat menjaga dan mengembangkan kepribadian bangsa melalui budaya yang  baik. Ini penting, sebab masyarakat yang berkepribadian berlandaskan akidah yang hebat  tentu mampu membendung serangan hal-hal negatif yang datang dari luar dirinya. 

Ia sepakat, penutupan Dolly seharusnya dilakukan sejak lama. Makanya yang harus dicermati, lanjut dia, adalah penutupan yang terkesan “kebetulan” berbarengan dengan Pilpres yang akan digelar dalam waktu dekat. Sedikit banyak, akan ada dampak politis dari penutupan tersebut. Namun, penutupan Dolly bisa juga merupakan dampak momentum jelang ramadhan. Jika penutupan dilakukan di masa2sebelum pilpres, kata dia, mungkin polemiknya menjadi jauh berbeda. 

 Bisa jadi, lanjut Harvick, penutupan Dolly dijadikan sebagai bagian dari silent operation salah satu pihak untuk mengurangi perolehan suara yang lainnya. Atau, mungkin saja ada pihak lain yang menumpang mengambil keuntungan dari persoalan yang ada. “Atau ini juga masuk dalam skenario pencitraan berikutnya,” katanya. 

Maka, ia pun berharap tidak ada muatan apapun dalam praktik penutupan Dolly selain niat menghapuskan kemaksiatan. Dengan begitu, pencarian solusi atas dampak yang timbul pascapenutupan pun akan dilakukan secara seruis. 

Lebih jauh, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Maksum Machfoedz menyebut lokalisasi prostitusi sebagai bagian dari penyakit sosial yang mesti ditutup dengan tegas namun tetap harus hati-hati. Kehati-hatian dalam menutup lokalisasi prostitusi, lanjut Maksum, harus diawali dengan mencermati dampak dan komplikasi sosial di masyarakat yang telanjur bertahun-tahun mencari penghidupan di lingkup prostitusi. Salah satu caranya dengan membangun perspektif multidimensi.

Dijelaskan Maksum, penutupan memang harus diawali dengan pendekatan syariat dan kekuasaan. Bahwa pemerintah dalam hal ini menegaskan dirinya sebagai bagian dari social development. Namun ketegasan penutupan harus dibarengi upaya rehabilitasi. Agar masyarakat yang berada di lingkar pprostitusi siap menerima perubahan dan terjamin hak-hak sosialnya sebagaimana masyarakat lainnya. 

Pascapenutupan nanti, peranan masjid dan komunitas Islam sangat penting untuk jadi pendamping. Agar masyarakat mantan pelaku prostitusi dan jajarannya menemukan kenyamanan lain yang bahkan menuai berkah dengan menjalani kehidupan lain selain meramaikan Dolly. “Semuanya harus disentuh dan disapa, agar per-Dolly-an tak diharapkan lagi keberadaannya,” lanjut dia. 

Penutupan lokalisasi Dolly yang ditargetkan dilaksanakan pada 19 Juni 2014 ini juga didukung oleh Ketua PP Muhamadiyah Yunahar Ilyas. “Harusnya sejak dulu sudah ditutup karena idealnya, tidak boleh ada perizinan prostitusi yang dilegalisir di Bumi pancasila ini,” kata dia.

Ia sangat  tidak berharap penutupan ditunda. Ia mengimbau agar Pemerintah Kota Surabaya tidak ragu. Sebab di tengah penolakan, ada banyak warga lainnya yang mendukung kebijakan penutupan tersebut.

Ia memang melihat adanya dampak ekonomi yang nantinya timbul pascapenutupan. Terutama bagi bagi pihak-pihak yang selama ini mendapat keuntungan dari Dolly. Namun ia percaya, pemerintah setempat sudah mengantisipasinya sejak jauh-jauh hari. 

Lagi pula, lanjut dia, manfaat penutupan Dolly jauh lebih besar dari madharatnya. Ia juga menilai sejauh ini strategi pemkot sudah benar. “Bismillah ditutup, yang menegakkan kebenaran dan memerangi kemaksiatan, yakinlah dapat pertolongan dari Allah,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement