REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Terdakwa kasus Hambalang, eks Direktur Operasional PT Adhi Karya Teuku Bagus M Noor menjalani sidang pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selasa (10/6). Dalam persidangan ini, Bagus mengungkapkan tren dari kewajiban adanya setoran awal bila sebuah perusahaan ingin memenangkan tender proyek.
Bagus yang sudah lama menduduki jabatan-jabatan penting di PT Adhi Karya berujar, beberapa kali pengalaman adanya pemberian setoran awal sebagai bagian dari fee proyek kerap ia temui. Dikatakannya, pernah suatu ketika ia melakukan jalur professional dalam upaya memenangkan sebuah tender.
“Saya harusnya menang tapi kalah. Memang sepert ini, banyak proyek yang bisa didapatkan dengan cara tersebut,” ujarnya di Pengadilan Tipikor Jakarta Selasa.
Bagus bercerita, pernah suatu ketika ia berusaha memprotes tradisi tersebut. Ketika mengetahui ia kalah karena tak menyetorkan uang setoran, ia lalu mengirim surat keberatan. Sebagai perusahaan perseroan milik negara, suratnya ini ia tembuskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Setelah surat dikirimkan, saya malah ditegur, dipanggil oleh Deputi Kementrian BUMN Muhayat, katanya jangan bawa-bawa KPK, habis saya waktu itu dimarahi,” kata Bagus.
Di dalam dakwaan, Bagus disebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK sudah memperkaya diri sendiri atas proyek Hambalang. Diketahui, sebelum mendapatkan proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) itu, dikatakan JPU KPK PT Adhi Karya sempat menyogok sejumlah pihak.
Tak kurang dana sebesar Rp 12 miliar sudah dikeluarkan Adhi Karya untuk dapatkan proyek Hambalang. Angka tersebut, adalah bagian dari fee Hambalang yang dipatok di angka 18 persen. Sebelumnya, Mantan anak buah Bendahara Umum Nazaruddin, Mindo Rosalina Manullang alias Rosa pernah menyebut ada pakem standar fee yang diberikan dari pembagian sebuah proyek.
“Ada Fee untuk perusahaan BUMN 15-18 persen,” kata Rosa saat itu.