REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Cawapres Jusuf Kalla (JK) membantah mendesak sekretariat negara terkait pemberian rumah bagi para mantan presiden dan wapres sebagai bentuk penghargaan negara kepada para pemimpinnya.
"Saya tidak pernah meminta. Itu undang-undang, cara negara untuk menghargai para pemimpinnya," katanya di rumah orang tua mantan presiden BJ Habibie di Gorontalo, Jumat (13/6).
JK berada di Gorontalo dalam rangkaian safari kampanye di wilayah Sulawesi. Sebelumnya ia melakukan kampanye terbuka di lapangan Telaga Biru, Gorontalo yang dihadiri ribuan penarik becak motor.
Pada saat itu juga dibacakan deklarasi para penarik becak motor (bentor) se-Gorontalo untuk memenangkan pasangan Jokowi-JK.
JK menjelaskan, berdasarkan undang-undang maka dalam waktu selambat-lambatnya enam bulan negara memberikan rumah kepada mantan presiden dan wapres. Karena merupakan ketentuan, maka hal itu tidak usah ditagih.
"Ini (rumah) tidak usah ditagih, ini bahaya, kalau begitu bisa-bisa pak SBY nanti juga tidak dapat rumah," kata JK.
Menurutnya, usai pensiun sebagai wapres, pada 2010 Mensesneg Sudi Silalhi mendatanginya soal pemberian rumah.
"Saya ditanya Sudi, bapak mau di mana? Yaa yang dekat rumah saja (Brawijaya). Dulu (2010) masih terjangkau tapi sampai empat tahun tidak juga diputuskan. Karena tidak cepat mungkin naik. Pemerintah ini sudah selama empat tahu tak ada juntrungnya," katanya.
Ia juga menjelaskan kalau saat itu Sudi mengatakan takut jika melanggar undang-undang. Karena itu kalau Dipo Alam menudingnya yang mendesak sekneg untuk pemberian rumah tersebut, maka menjadi sangat janggal.
JK pun meminta Dipo Alam untuk mengecek undang-undang sebelum berbicara. Karena ia justru merasa heran jika sekarang dibuatkan peraturan presiden karena hal itu sudah jelas diatur dalam undang-undang.