REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kebijakan pengembangan industri peternakan berbasis perdesaan perlu didorong agar bisa mencapai target swasembada daging, kata Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Ali Agus.
"Hal itu perlu dilakukan karena sampai saat ini swasembada daging belum pernah terwujud," katanya usai membuka Lustrum IX Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Jumat (13/6).
Menurut dia, populasi sapi nasional berkisar 14 juta ekor, setiap tahun hanya menghasilkan dua juta anak sapi. Namun, yang siap dipotong sekitar satu juta ekor, sedangkan kebutuhan bisa mencapai 1,5 juta ekor.
"Saat ini setiap tahun pemerintah rata-rata mengimpor sekitar 300 ribu hingga 500 ribu sapi, bahkan daging impor mencapai 150 ribu hingga 200 ribu ton," katanya.
Ia mengatakan besarnya jumlah impor daging sapi itu disebabkan pasokan daging sapi lokal belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah yang terus meningkat.
"Kemampuan daya beli masyarakat semakin meningkat, jika sebelumnya lebih banyak ke karbohidrat saat ini sudah beralih ke protein hewani," katanya.
Menurut dia, tingginya tingkat kebutuhan masyarakat itu tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Pemerintah lalai dan tidak memiliki komitmen untuk memajukan industri peternakan.
Padahal, kata dia, salah satu kebijakan yang diperlukan adalah penyediaan dan kepastian lahan untuk zona peternakan.
"Di Australia, ada komitmen politik pemerintah, dukungan perbankan, dan bantuan teknologi. Alokasi lahan juga sangat jelas," katanya.
Ia mengatakan salah satu persoalan serius yang dihadapi presiden pada 5-10 tahun mendatang adalah mencukupi kebutuhan pangan penduduk terutama telur, daging, dan susu yang berasal dari hewan ternak.
"Industri peternakan di Indonesia akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ada dukungan politik dari pemerintah," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, perlu ada program pertanian terpadu di perdesaaan yang berbasis peternakan. Program itu hanya dilakukan di Pulau Jawa, sedangkan di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, dan Papua menggunakan pola peternakan ekstensif.
"Misalnya, daerah bekas tambang bisa digunakan untuk peternakan, yang penting ada kepastian lahan," katanya.