Oleh: Damanhuri Zuhri
Perlu dialog yang intensif-substantif untuk satukan penanggalan.
Perbedaan penggunaan metode penetapan awal Ramadhan bukan hal baru dalam kajian fikih. Ini terjadi pula pada era ulama klasik.
Silang pendapat ini pun dianggap sebagai salah satu bentuk ikhtiar ijtihad selama merujuk pada dalil dan argumentasi yang kuat.
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof M Amin Suma menilai, yang dikategorikan se bagai bentuk ijti had ialah penetapannya (isbat).
Sedangkan, hukum dasar awal Ramadhan atau Syawal bukan termasuk ijtihad. Landasan beribadah di masing-masing bulan itu telah ditetapkan, baik dalam Alquran maupun hadis. “Jadi, isbatnya itu sendiri bisa kita katakan ijtihad,” katanya.
Ia membandingkan dengan penentuan waktu shalat. Shalat Zhuhur, misalnya, ulama manapun setuju, yaitu ketika tergelincirnya matahari (zawalusy syam) itu waktu Zhuhur.
Perbedaan perhitungan secara tepat meliputi jam, menit, dan detik itu dikategorikan ijtihad. Hal ini didasari ragam sarana dan metode yang berbeda. Sekalipun, ada ketidaksamaan antara penetapan waktu shalat dan puasa.
Menurutnya, ijtihad saat ini yang menonjol adalah ijtihad kolektif (jamai) yang dicirikan oleh organisasi. Pada saat bersamaan, masalah yang menjadi objek ijtihad pun ada yang berkenaan dengan personal dan ataupun khalayak, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Ia menilai, masyarakat sudah dewasa dan terbiasa dengan perbedaan pendapat. Tapi, kalau ada jalan yang terbaik, misalnya, ia yakin semuanya mau, ingin bersatu, bareng-bareng. Tidak berbeda-beda. Tapi, kenyataan selalu menunjukkan tidak selalu begitu.