Oleh: Damanhuri Zuhri
Dalam hal tertentu perbedaan ijtihad sudah mencair. Namun, harus disadari dalam kasus penetapan awal bulan Hijriah tampaknya masih perlu dialog yang intensif-substantif.
Prof Susiknan menyebut pertemuan selama ini masih berada pada tataran normatif dan terkungkung pada pola pikir dikotomis-ideologis.
Dalam Islam, jelasnya, perbedaan adalah hukum Allah. Umat Islam harus berjiwa besar ketika meng hadapi perbedaan dengan penuh toleransi.
Selama keputusan pemerintah belum bisa menyatukan pandangan-pandangan yang ada, minimal sebaiknya keputusan pemerintah bersifat netral dan memperkenankan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Pengalaman sidang isbat awal Syawal 1432 H (2011) perlu dihindari agar tidak terjadi ketegangan di kalangan masyarakat. Menurut catatannya, sidang isbat awal Syawal 1432 merupakan pelajaran berharga bagi semua pihak agar menghindari truth claim dan menegasikan pihak lain.
Akibat pernyataan-pernyataan yang muncul dalam sidang isbat menjadikan hubungan antara pemerintah dan ormas-ormas Islam kurang harmonis.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah (Kementerian Agama) membentuk Tim Penyatuan Kalender Islam Regional. Baginya, bukan pada posisi di bawah atau di atas dua derajat, melainkan yang terpenting bagaimana membangun teori berbasis riset yang memadukan aspek syar’i dan sains.
Dengan kata lain, menyatukan umat dalam konteks kalender Islam perlu menggunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Jika hasilnya wujudul hilal yang lebih aplikatif sesuai tuntutan syar’i dan sains relevan untuk masa kini maka marilah kita terima dengan lapang dada.
Begitu pula jika visibilitas hilal lebih sesuai maka hendaknya, siap menerima dengan sikap //gentleman agreement. Pengalaman dalam pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bisa dijadikan sebagai acuan.