Oleh: Nashih Nashrullah
Hisab dalam bahasa Arab bermakna perhitungan. Penggunaan kata ini kemudian dalam perkembangannya memiliki cakupan makna luas, tidak hanya terbatas pada kegiatan menjumlah, mengurangi, atau membagi angka demi angka.
Tetapi, lebih dari itu, hisab juga dipergunakan sebagai salah satu metode untuk mengetahui dan menetapkan awal bulan dalam Islam.
Terutama bulan Hijriah, yang berkaitan langsung dengan pemberlakuan sejumlah ibadah. Misalnya, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Bila ditelusuri lebih jauh, didapati bahwa disiplin ilmu hisab, sebagaimana dikutip dari Ensiklopedi Islam, berasal dari Yunani dan India. Dari Yunani, hisab masuk ke tanah Arab pada abad pertengahan. Di Yunani, hisab dikenal dengan sebutan aritmatika.
Hisab Yunani mendominasi penulis-penulis Arab sampai awal abad ke-11. Hal ini terlihat jelas dalam kitab Al-Kafi fi al-Hisab, yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad al-Karkhi (970- 1036). Dalam karyanya itu, al-Karkhi masih tetap menggunakan huruf untuk menyebut angka, seperti dalam hisab Yunani.
Sedangkan dari India, hisab masuk ke wilayah Arab sekitar 700 M. Bersamaan dengan ilmu falak yang dikembangkan oleh Sindhind. Karenanya, sistem perangkaan di dalam bahasa Arab disebut hindi dan berhitung disebut handasah atau handasah yang juga berarti ilmu akar.
Sistem ini terkenal dengan angka nol. Berkembangnya aritmatika India, terutama disebabkan oleh banyak buku terjemahan yang dikerjakan oleh ahli-ahli hisab Arab yang termasyhur, seperti al-Farazi, al-Khawarizmi, dan Habasy bin Habib.
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi secara mendasar mengembangkan hisab dalam bentuk angka seperti sistem India. Selain telah mengembangkan aljabar, ia juga memperkenalkan angka Arab ke dunia Barat.
Dengan demikian, bangsa Barat mengenal aritmatika dalam bentuk angka. Di antara tokoh Barat yang banyak terpengaruh oleh teori al-Khawarizmi ialah Leonardo Fibonacci (1245 M).