REPUBLIKA.CO.ID, KYAUKPYU -- Sebuah gerakan untuk mengisolasi Muslim tengah berlangsung di barat Myanmar. Pelopornya, aktivis Budha. Gerakan ini mendapat ruang untuk tumbuh karena didukung situasi negara yang sedang dalam transisi kepemimpinan militer.
Beberapa bulan belakangan, aktivis dan politisi Budha Rakhine mempelopori aksi membatasi akses kesehatan dan bantuan lain bagi sekitar satu juta Muslim Rohingya di Rakhine. Jaringan Sosial Rakhine (RSN) berada di baris terdepan. Organisasi tersebut merupakan organisasi sayap dari Partai Nasional Arakan (ANP).
"Kami khawatir negara ini tidak lagi menjadi negara Budha. Kami, warga Rakhine menjaga betul Myanmar dari pengaruh asing," ujar Ketua Jaringan Perempuan Rakhine yang menjadi bagian dari RSN kepada //Reuters//, Kamis (19/6).
Konflik agama yang terjadi sejak 2012 telah menewaskan ratusan Muslim Rohingya. Lebih dari 140 ribu orang mengungsi di negara bagian Rakhine. Kondisi di kamp pengungsian tidak lebih baik. Para pengungsi menjalani kehidupan yang memprihatinkan. Mereka terpenjara atau hidup terpisah di desa-desa. Mereka tidak diizinkan bepergian. Bahkan, di beberapa daerah mereka dibatasi untuk menikah dan memiliki bayi.
"Terdapat gerakan yang secara aktif mengisolasi populasi Rohingya dan mengusir mereka dari Rakhine yang dianggap sebagai kampung halaman mereka," kata Direktur Eksekutif Fortify Rights, sebuah organisasi nonprofit yang mengawasi Rakhine, Matthew Smith.
Dia mengatakan bahkan pemimpin Rakhine yang tergolong moderat pun menyerukan agar Muslim Rohingya berada dalam kondisi yang mirip rezim apartheid. Terdapat pembiaran kekerasan terhadap kemanusiaan di sana.
Rohingya secara luas dianggap sebagai imigran Muslim ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Gerakan antiRohingya mengemuka setelah pemimpin Rakhine menggunakan reformasi demokrasi Myanmar untuk merebut otonomi daerah yang lebih besar dan miliaran dolar pembangunan infrastruktur dan pendapatan minyak dan gas.