Kamis 19 Jun 2014 19:13 WIB

Serikat Petani Kritik Pemangkasan Anggaran Kementan

Rep: budi rahardjo/ Red: Muhammad Hafil
Petani (ilustrasi)
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petani (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IV DPR sepakat untuk memotong anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp 1,85 triliun. Pagu APBN Perubahan tahun 2014 untuk Kementerian Pertanian berkurang menjadi sebesar Rp 13,613 triliun.

Pemotongan anggaran di Kementan itu mendapat kritikan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih. Ia berpendapat pemotongan anggaran Kementan semakin menegaskan kepada masyarakat bahwa pemerintah dan DPR mengabaikan sektor pertanian yang menjadi sumber mata pencaharian bagi 26,13 juta keluarga tani di Indonesia. 

Henry sangat menyesalkan pemotongan anggaran Kementan karena sektor pertanian di Tanah Air masih menemui banyak masalah. Mulai dari derasnya arus impor pangan, alih fungsi lahan, tingginya kemiskinan di pedesaan, hingga hilangnya lima juta rumah tangga pertanian selama 10 tahun terakhir. Belum lagi persoalan perubahan iklim ekstrem, ketimpangan struktur agraria dan konflik agraria, rendahnya nilai tukar petani rendah, serta orang desa yang tidak sebahagia orang kota.

Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Mei 2013, Henry mengatakan, mencatat adanya penyusutan 5,04 juta keluarga tani dari 31,17 juta keluarga per tahun 2003 menjadi 26,13 juta keluarga per tahun 2013. “Pemerintah memang tidak pro petani kecil. Ini sudah jadi bukti sahih," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/06). 

Henry mengatakan pemerintah memang lebih memilih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar pertanian, daripada petani kecil. Contohnya bisa dilihat dalam PP No.39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pemerintah membuka kesempatan bagi investor asing hampir 95 persen untuk memanfaatkan dunia pertanian.

Kenyataan itu sejalan dengan data BPS yang menunjukkan jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Sayangnya, kehadiran perusahaan pangan ini dinilai Henry tidak berarti apa-apa bagi kedaulatan pangan di Tanah Air. Alasannya, karakteristik perusahaan memang hanya mengejar keuntungan. "Akibatnya Indonesia tidak berdaulat pangan, impor pangan terus merajalela karena mereka mengejar keuntungan rente,” kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement