REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deklarasi yang digagas Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi Dolly, tampaknya tidak membuat efek apa pun. Aktivitas para pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Gang Dolly masih berjalan seperti biasanya.
Pengamat Sosial Budaya Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati mengatakan memang sesuatu yang awal itu dimulai cukup sulit, apalagi memulai suatu perubahan yang sudah lama mengakar. Lokalisasi Dolly sudah lama berdiri dan membentuk sistem sosial di masyarakat sekitar. ''Tentu akan terjadi resistansi,'' kata Devie saat dihubungi ROL, Sabtu (21/6).
Resistansi yang dimaksud, lanjut mantan Kepala Humas UI ini, yakni bila ditelaah dalam teori ilmu sosiologi akan mengakibatkan self deffence secara sosial, dimana warga sekitar akan menolak penutupan lokalisasi Dolly yang sudah membawa dampak ekonomi yang baik itu. ''Kehidupan sosial dan ekonomi pasca ditutupnya lokalisasi Dolly itu akan terasa bagi warga sekitar dan itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah,'' jelas Devie.
Menurut Devie, Pemkot Surabaya juga harus kerja ekstra dampak sosial lain yang ditimbulkan bagi masyarakat Surabaya pada umumnya seperti terjadinya pelacuran liar yang merambah ke jalan-jalan dan terselubung di berbagai tempat. ''Harus diantisipasi dengan memperketat pengawasan pada mantan PSK Dolly jangan sampai berkeliaran di jalan-jalan secara liar karena akan menyebabkan rentan penularan penyakit kelamin di mayarakat dan juga rentan penularan prilaku seks bebas. Ini lebih berbahaya lagi,'' paparnya.
Untuk itu, lanjutnya, Pemkot Surabaya tidak lepas tangan begitu saja dan harus membekali para PSK itu tidak hanya uang pesangon saja juga memberikan pembinaan, pelatihan ketrampilan agar dapat bekerja mandiri untuk tidak kembali lagi menjadi PSK. ''Buatkan balai latihan kerja bagi mantan PSK Dolly, seperti menjahit, salon kecantikan, memasak, membuka usaha warung klontong dan warung makan. Gali potensi dan bakat mereka, kemudian salurkan potensi dan bakat tersebut,'' tutur Devie.
Diutarakan Devie, penutupan lokalisasi Kramat Tungak Jakarta pada tahun 1999 awalnya juga sulit, namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mampu mengatasinya terutama dampak sosial, budaya dan ekonomi pasca penutupan. ''Para mantan PSK diberi pelatihan ketrampilan lalu dicarikan kerja. Cukup lama, tapi cukup berhasil,'' terangnya.
Diakui Devie, memang masalah dunia pelacuran ini cukup sulit diatasi tapi jika pemerintah serius dengan pengawasan ketat dan didukung penuh masyarakat, bukan mustahil penyakit sosial ini dapat diminimalisir keberadaannya. ''Sangat berbahaya jika pelacuran tak terkontrol dan berada dimana-mana di sudut kota, seperti sekarang yang terjadi di Jakarta pelacuran berkeliaran di jalan-jalan, ditengah-tengah pemukiman dan ditempat-tempat hiburan secara terselubung,'' pungkasnya.