REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Hampir 50 orang tewas dalam tempo tiga hari setelah pecahnya bentrok sektarian baru di Republik Afrika Tengah, kata seorang anggota pasukan perdamaian, Rabu.
Bentrokan tersebut dipicu oleh pembunuhan 17 warga Muslim di sebuah kamp di wilayah Bambari tengah pada Senin oleh sekelompok lelaki bersenjata yang mengaku sebagai anggota milisi Kristen yang dikenal sebagai anti-balaka.
"Hampir 50 orang tewas sejak Senin selama bentrok di wilayah Bambari dan desa-desa sekitarnya," kata petugas dari pasukan Uni Afrika MISCA kepada AFP. "Sebagian besar korban ditembak atau ditusuk sampai mati."
Pasukan penjaga perdamaian mengatakan terjadi serangkaian baku tembak di kawasan tersebut menyusul aksi pembantaian itu.
Petugas itu mengatakan kekerasan dilakukan baik oleh "individu yang tidak terkendali maupun sekelompok kecil orang" dan warga sipil lari ke katedral, keuskupan agung, dan gedung-gedung pemerintah setempat untuk menyelamatkan diri.
"Selain serangan-serangan yang ditujukan pada warga sipil dan pembakaran rumah-rumah, juga terjadi bentrokan yang tampak seperti serangan terkoordinasi oleh kelompok bersenjata baik dari milisi Kristen maupun Muslim," kata petugas yang menolak disebutkan namanya itu.
Republik Afrika Tengah menghadapi kerusuhan selama lebih dari setahun sejak kelompok pemberontak Seleka yang mayoritas Muslim mengambil alih kekuasaan lewat kudeta, menyebabkan terjadinya serangkaian bentrokan dengan milisi Kristen.
Bentrokan tersebut telah mengakibatkan puluhan ribu orang tewas dan sekitar seperempat jumlah penduduk atau sekitar 4,5 juta orang mengungsi.
Bambari, wilayah dimana pemberontak Seleka mendirikan markas baru mereka, berada di bawah pengawasan ketat pasukan Prancis dari misi Sangaris dan pasukan penjaga perdamaian Afrika dari MISCA, meski merekapun tidak mampu mencegah terjadinya bentrokan.
Pertempuran di sebuah desa di luar Bambari pada awal Juni menewaskan setidaknya 22 orang, baik dari kubu Muslim maupun Kristen, kata petugas keamanan. Pekan lalu 10 jasad korban dengan tanda-tanda kekerasan ditemukan di sebuah sungai di kawasan itu.
Dalam laporan yang dirilis, Selasa, Federasi Internasional Hak Asasi Manusia (FIDH) mengatakan bahwa "kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan" masih terus dilakukan ketika "konflik impunitas" berkembang di bekas koloni Prancis itu.
"Komunitas internasional harus mendukung Afrika, Prancis dan nantinya juga pasukan PBB untuk mengakhiri kejahatan ini, melindungi waga sipil dan menyeret mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan itu ke pengadilan," kata presiden FIDH Karim Lahidji.