REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Poppy Dharsono memprotes keras keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan perkara sengketa pemilu legislatif 9 April 2014 yang diajukannya.
Poppy dalam pernyataan pernya menyatakan, keputusan itu membuktikan MK belum memberikan keadilan dan kebenaran dalam perjalanan cita-cita demokrasi di Indonesia.
Dia khawatir MK telah menjadi lembaga yang melegitimasikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu.Ia juga mengingatkan MK jangan menjadi alat kepentingan politik tertentu yang merugikan bangsa dan negara.
Walaupun nantinya harus berjuang di luar sistem, Poppy Dharsono menjelaskan, ada berbagai masalah yang sudah tidak mungkin lagi diselesaikan oleh sistem bernegara.
"Dalam Gerakan Renaissance Indonesia kita tetap bisa berjuang bersama rakyat," katanya, Kamis (26/6).
Sementara itu, kuasa hukum Poppy Dharsono, Hermawanto SH menegaskan MK telah berpihak kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). MK telah memutus perkara dengan standar ganda dalam menilai alat bukti.
"MK membatasi jumlah saksi yang boleh diajukan, tapi MK sangat lunak bahkan terkesan berpihak pada KPU," ujarnya.
Dia menilai, sejak awal MK terlihat berpihak kepada KPU dengan memberikan batasan jumlah saksi yang boleh dihadirkan.
Poppy adalah politisi berlatar belakang pengusaha dan desainer yang menjadi anggota DPD periode 2009-2014 untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Dia kembali mencalonkan diri untuk periode 2014-2019.
Dia menduga ada kecurangan dalam pemilu lalu berupa hilangnya suara dan pelibatan oknum aparat untuk menggalang dukungan kepada calon tertentu. Dia kemudian menggugat penetapan hasil pemilu ke MK.
MK dalam putusannya menyatakan, bukti-bukti kecurangan yang diajukan Poppy kurang kuat untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya. Menurut MK, seharusnya Poppy mengajukan keberatan saat penghitungan suara dan mengajukannya ke Bawaslu.