REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar AS bersifat temporer. Sejauh ini penurunan impor paling berkontribusi terhadap hal ini.
Ia mengakui bahwa pelemahan rupiah terjadi ketika mata uang asing justru mengalami penguatan terhadap dolar AS. Ada beberapa faktor dari dalam dan luar negeri yang mempengaruhi hal ini. Faktor tersebut antara lain kondisi makro ekonomi yang kurang baik dan ketegangan politik.
Namun menurut dia, seharusnya investor tidak perlu ragu berinvestasi di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia memperlihatkn situasi kondusif pada pemilu tahun 2004 dan 2009. "Pileg kemarin juga lancar, harusnya sih stabilisasi politik dan keamanan harus terjada di 9 Juli,' katanya ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Kamis (26/6).
Pelemahan rupiah akibat ketegangan politik akan berakhir begitu pemilu selesai. Tapi pemerintah tetap harus mengupayakan surplus neraca perdagangan jika ingin rupiah menguat kembali. Mirza melihat perlunya kebijakan yang membuat neraca cadangan mengecil dan neraca perdagangan surplus. "Kan kita tahu yang membuat neraca perdagangan surplus itu neraca minyak," kata Mirza.
BI selama ini akan mengantisipasi dari sisi pasar keuangan moneter. Apabila terjadi gejolak, BI akan mejaga kestabilan agar pelemahan tidak terlalu tinggi.
"BI tidak memberikan range misalnya dari Rp 11.600 ke Rp 11.800. Artinya, BI comfortable dengan hal itu. Kalau sekarang Rp 12 ribu, itu bagi BI sebenarnya level yang tidak penuh," kata Mirza.