Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Dikisahkan, lebih dari 30 tahun setelah itu, seorang rakyat biasa menemui khalifah di istananya. Di depan khalifah ada secangkir susu dan di tangannya ada beberapa potong roti.
Dari susu itu keluar bau apek. Sedangkan, roti itu tampak keras dan kasar. Khalifah berusaha mematah-matahkannya dan memasukkan serpihan-serpihannya pada susu dalam cangkir.
Rakyat kecil itu takjub melihat pemimpinnya makan begitu sederhana. Ia bertanya kepada pembantu khalifah, “Apakah kamu tidak kasihan pada orang tua ini? Mengapa tidak kau minyaki rotinya supaya lunak?”
Pembantunya berkata, “Bagaimana aku bisa kasihan padanya, ia sendiri tidak kasihan pada dirinya.
Ia memerintahkan kami untuk tidak menambahkan apa pun pada rotinya. Kami sendiri makan roti yang lebih baik dari roti yang dimakannya.”
Khalifah berkata, “Wahai Suwaydah, kamu tidak tahu apa yang biasa dimakan Nabi. Dia pernah tidak makan tiga hari berturut-turut.”
Khalifah itu adalah anak didik Nabi SAW, alumni madrasah Rasulullah yang tumbuh dalam asuhan wahyu, Ali bin Abi Thalib.
Ketika mau berbuka puasa, ia menginginkan daging bakar de ngan roti yang lunak. Sudah lama ia menginginkannya. Akhirnya, ia ber biacara pada putranya, Hasan. Hasan pun menyiapkannya. Ketika makanan itu sudah terhidang menjelang waktu buka, seorang pengemis berdiri di depan pintu.
Imam Ali berkata pada Hasan, “Anakku, berikan daging bakar itu padanya. Jangan sampai dalam catatan amal kita tertulis, ‘kamu sudah menghabiskan yang baik-baik bagimu dalam kehidupan dunia saja dan kamu sudah bersenang-senang dengannya’.”
*Koordinator Pengkajian JIC