REPUBLIKA.CO.ID, Ada puasa Nabi Daud, sehari puasa sehari berbuka. Ada puasa menahan diri dari berbicara, seperti pernah dijalankan Maryam, ibu Nabi Isa.
Jauh sebelum Nabi Isa, perlu disimak pula kisah Nabi Adam, sebagai simbol manusia pertama, dan Hawa, istrinya. Adam dan Hawa telah dikaruniai kenikmatan berlimpah dan diberi kemudahan untuk memakan segala buah di alam surga, kecuali “buah terlarang”.
Kisah Nabi Adam dan Hawa, Maryam dan “orang-orang terdahulu” sebelum umat Nabi Muhammad menjelaskan bahwa sejak awal sejarahnya, umat manusia sebenarnya telah diperintahkan untuk mampu menahan dan mengendalikan diri sendiri dari berbagai bentuk kezaliman.
Karena itu, contoh sejarah pengendalian diri manusia-manusia terdahulu melalui puasa dapat diharapkan menjadi rujukan manusia-manusia kini dan mendatang dalam mengendalikan diri.
Sejarah dan upaya manusia dalam hal pengendalian diri akan berlangsung dan berkesinambungan dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lainnya.
“Pegalaman sejarah pengendalian diri itu sangat dibutuhkan agar kezaliman yang dapat merusak tatanan masyarakat tidak kembali terulang bagi umat manusia, apa pun latar belakang agamanya,” kata Azyumardi.
Secara bahasa, puasa dalam bahasa Arab disebut “sha-wa-ma” yang bermakna “menahan”, “berhenti”, atau “tidak bergerak”. Secara esensial mengandung arti “menahan dan mengendalikan diri”.
Dalam Tafsir al-Manar disebutkan pula puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan badan suami istri, mulai dari terbit fajar hingga Maghrib karena mengharap ridha Allah, sebagai persiapan diri menuju ketakwaan kepada-Nya dengan jalan memerhatikan dan mengendalikan kehendak pribadinya.
Momen menahan diri inilah esensi utama dari puasa. Banyak pula keutamaan yang didapatkan jika Muslimin mampu melakukannya. Salah satunya yakni jaminan surga.
Rasulullah bersabda, “Di surga ada delapan pintu. Salah satu pintu itu bernama rayyan yang hanya dilewati oleh orang-orang yang berpuasa,” hadis riwayat Bukhari dan Muslim.