REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih sulitnya mengembangkan perkebunan aren membuat bioetanol dari tanaman bernama lain enau ini tidak mudah diproduksi dalam jumlah besar.
"Pohon aren belum bisa ditanam secara luas dalam bentuk kebun. Beberapa daerah telah dicoba ditanami aren, pohon tumbuh semakin tinggi sehingga aren sulit diambil," kata Coordinator of Low Emission Development Strategy Cluster Coordinator Indonesia Climate Change Center (ICCC) Artissa Panjaitan di Jakarta, Senin (30/6).
Pohon aren tumbuh hingga mencapai 25 meter. Hal ini, menurut dia, menyulitkan orang mengambil nira secara rutin untuk diproses menjadi bioetanol. "Harus ada teknologi agar orang tidak perlu memanjat untuk mengambil niranya," ujar dia.
Tidak ada masalah jika ingin mengembangkan bioetanol untuk menggantikan bensin dari Aren. Namun, ia mengatakan berdasarkan hasil riset ICCC bioetanol dari Sagu lebih mempunyai potensi besar.
Meski demikian, lanjutnya, dari hasil riset diketahui Sagu mengandung enzim yang menghambat mikroba berkembang untuk ragi. "Kalau mau, ya harus ada riset lebih lanjut untuk sagu. Kelebihannya adalah sagu tidak perlu ditanam, sagu dapat berkembang sendiri," ujar dia.
Sebelumnya Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengatakan calon presiden Prabowo Subianto berniat mengembangkan Bahan Bakar Nabati (BBN) berupa bioetanol dari pohon aren.
Menurut dia, setiap hari 70 pohon aren per hektare dalam tahap produksi dapat menghasilkan rata-rata 13 liter dengan konsentrasi gula 11 persen. Dengan demikian, dalam setahun akan ada 36,5 ton gula.
Jika jumlah tersebut dialihkan menjadi bioetanol akan mampu menghasilkan hingga 24 ribu liter bahan bakar per hektare per tahun. Jumlah tersebut disebutkan dapat menutupi kekurangan bahan bakar minyak.