REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) meminta Pemerintah memperhatikan bisnis pemurnian mineral (smelter) yang dinilai semakin tidak bergairah dan tidak tentu arah, akibat egoisme kebijakan kementerian yang masih tidak pro bisnis.
"Kepala Negara selalu mengatakan kebijakan pro bisnis dan perlunya 'Indonesia Incorporeted'. Tapi disayangkan implementasinya tidak jalan, malah bisnis mineral ini berantakan," kata Ketua ATEI Natsir Mansyur, dalam siaran pers, di Jakarta, Kamis (3/7).
Natsir mengatakan, pemberlakuan UU No. 4/2009 sudah berjalan 7 bulan, namun kebijakan kementerian teknis yang bisa menggerakkan bisnis mineral masih tarik menarik di kementerian, sehingga mengakibatkan pengusaha dan investor stagnan. ATEI menyayangkan kondisi bisnis mineral ini, dimana pemerintah tidak siap menjalankan UU minerba, padahal industri smelter ini sangat dibutuhkan negara.
Ketidaksiapan pemerintah dan hal-hal yang menghambat dalam bisnis mineral itu diantaranya adalah pemberlakuan bea keluar (BK) Permenkeu No. 6/2014, penerapan Kepres tentang program hilirisasi mineral yang tidak fokus, termasuk tentang kebijakan insentif bagi para investor untuk membangun smelter. "Kebijakan gas untuk kebutuhan smelter juga belum masuk dalam neraca gas," kata Natsir.
ATEI menyayangkan dengan terjadinya kasus arbitrase yang dilakukan perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara tentang permasalahan itu dikhawatirkan dapat merusak citra Indonesia untuk bisnis mineral di mata internasional, namun di sisi lain pihaknya mendukung agar pemerintah segera mencari solusi yang terbaik.
"Saat ini pembangunan industri smelter sangat dibutuhkan, negara lain juga lebih pro bisnis. Jangan sampai kita lagi-lagi tertinggal," tegas Natsir.
Untuk itu ATEI meminta kepada pemerintah agar RPP Perindustrian? tentang sumber daya alam segera diterbitkan, karena hal itu dapat berdampak baik terhadap pembangunan industri smelter. "Bila aturannya sudah jelas, nanti pasti ada kepastian bahan baku dan jelas arahnya," kata Natsir.