REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menteri agama (Menag) RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, tantangan para ulama di Indonesia ke depan semakin kompleks karena pengaruh globalisasi.
"Globalisasi menjadikan kita bukan hanya warga Indonesia tetapi juga warga dunia. Banyak informasi yang mudah di akses sehingga transformasi nilai menjadi sangat revolusioner. Termasuk nilai-nilai kebajikan," katanya saat memberikan ceramah pada pengajian ramadhan PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (3/7).
Menurutnya, dulu nilai-nilai kebajikan hanya disampaikan orang tua dan guru. Para orang tua dan guru bisa memilih dan menyaring nilai-nilai tertentu untuk ditransformasikan ke anak-anaknya. "Namun sekarang nilai-nilai ini bisa leluasa masuk kemana saja ke ruang privat anak-anak kita, sehingga mereka bisa kadang lebih pinter dari orang tuanya dan itu tanpa terfilter sama sekali," katanya.
Meskipun kata dia, kontekstual dari informasi tersebut tidak dimengerti sama sekali oleh anak-anak. Hal inilah yang patut diwaspadai. Karena tanpa filterisasi ini globalisasi tellah memasukkan faham-faham tertentu yang saat ini telah muncul di kelompok masyarakat di Indonesia.
Faham ini antara lain adalah faham yang mudah mengkafirkan orang lain, bahkan konsekuensinya mewajibkan untuk diperangi. Faham ini 30 tahun lalu kata Menag, tidak terdengar tapi sekarang mulai muncul. "Ini harus diwaspadai karena dalam konteks ke Indonesiaan bisa mengancam integritas Indonesia sebagai bangsa majemuk," ujarnya.
Faham lain yang muncul adalah faham bebas tanpa batas. Kedua faham ini sama-sama membawa tafsir Islam tetapi memiliki cara pandang bebas tanpa batas. Dan ini juga terus muncul di beberapa kelompok di Indonesia. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi ulama Indonesia saat ini.
"Karenanya bagaimana ulama ini bisa seperti wali songo yang tetap bisa menjaga tradisi tanpa mengurangi inovasi untuk kemaslahatan. Sehingga untuk kaderisasi ulama itu kita perhatikan melalui beberapa program. Dan ini memang serius," tegasnya.