Kesenangan di Balik Keterbatasan

Red: Agung Sasongko

Jumat 04 Jul 2014 17:29 WIB

Ani Spd Foto: Dok.pri Ani Spd

REPUBLIKA.CO.ID,  Berkumpul dengan keluarga, itulah yang biasanya dinantikan oleh kita saat bulan ramadhan. Namun, kali ini ada yang berbeda, keluarga yang selalu ada bersama  disini bukan keluarga yang dulu melainkan keluarga baru. Keluarga baru yang terbentuk ditanah rantau. Di Sumbawa Barat-lah, salah satu tim dari Sekolah Guru Indonesia (SGI) mendapatkan keluarga baru yang bahkan bukan hanya satu tapi banyak sekali.

Awal puasa yang biasanya orang sunda menyebutnya sebagai munggahan merupakan saat yang paling dinanti, semua keluarga dari manapun biasanya akan bersama untuk dapat sahur dan berbuka bersama dengan menu-menu yang spesial. Namun kali ini munggahan dijalani bersama teman satu tim dengan menu yang seadanya tapi terasa istimewa karena setidaknya kita masih bisa berkumpul bersama saat berada ditanah rantau seperti ini.

Hal yang luar biasa dan tak akan terlupakan seumur hidup adalah saat menjalani Ramadhan di sebuah desa yang bernama Rarak. Desa ini merupakan salah satu desa yang dijadikan penempatan guru SGI, dan Mar'ahlah yang mendapat kesempatan untuk mengabdi didesa ini.

Desa Rarak berada diatas bukit, jaraknya cukup jauh dari desa yang beraspal. Saat musim hujan tidak akan ada kendaraan yang biasa disebut ranger untuk  mengantar ke desa ini, makannya kita harus jalan kaki sekitar 4-5 jam. Jika musim kemarau barulah akan ada ranger yang mengantar sampai kedesa dengan menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Saat diatas ranger pun kita harus ekstra hati-hati, jalanan berbatu dan menanjak akan mengombang-ambingkan badan kita sehingga tangan tidak akan lepas dari peganannya.

Di desa ini, Mar'ah tinggal disebuah poskesdes bersama seorang bidan, namun jika tidak ada ibu hamil bidan inipun akan kembali ke rumahnya di kota dan itu artinya Mar'ah akan tinggal sendiri di poskesdes. Untunglah warga-warga disini sangat baik dan tidak membiarkan Mar'ah sendiri ketika tidak ada kami.

Kita memang bersyukur tidak mengantar Mar'ah ke penempatannya dengan jalan kaki, karena bulan ramadhan kali ini bertepatan dengan musim kemarau sehingga akan ada ranger yang mengantar, namun ternyata ketika musim kemarau seperti ini keterbatasan air akan terasa di desa Rarak. Jika biasanya warga dapat meminum air langsung dari sumur karena begitu bersihnya. Namun, untuk kali ini tidak. Air yang ada didalam sumur warga mulai dalam dan mendekati dasar sehingga warnanya tidak jernih lagi.

Permasalahan di desa ini bukan hanya air, selain sinyal yang memang tidak ada diperkampungan adalah masalah listrik. Bersyukur kita masih bisa mendapat listrik dari pukul 18.00 sampai pukul 24.00. Setidaknya saat berbuka dan tarawih masih ada lampu yang menerangi.

Saat berbuka puasa, disini kita tidak memerlukan es batu untuk mendinginkan minuman manis yang biasa disantap ketika berbuka karena dinginnya suhu udara sudah bisa mendinginkan minuman kita. Adapun jika kita membeli minuman dingin disini harganya pun akan naik dua kali lipat dari harga minuman yang ada di desa bawah. Hanya saja tak jarang karena kasihan biasanya kita membelinya.

Bahan pangan disini memang tergolong mahal apalagi untuk ikan karena memang perjalanan dari bawah untuk ke tempat ini memerlukan upah yang tidak sedikit. Namun keberuntungan itu selalu datang, tidak sedikit warga yang mengajak untuk berbuka bersama di rumahnya sehingga kadangkala ikan bisa kita rasakan. Kekeluargaan warga didesa ini memang harus diacungkan jempol, mereka selalu merangkul sekalipun itu orang asing sehingga kita tidak akan merasa sendiri ditanah rantau.

Tengah malam desa ini menjadi gelap dan seperti tak berpenghuni. Namun dibulan puasa ini remang-remang akan terlihat cahaya kecil yang menyinari setiap rumah warga. Rasa dingin yang mencekam seakan menyuruh kita untuk berselimut lagi, tapi keinginan yang besar untuk bersahur seakan mengalahkan rasa dingin itu.

Hanya ada satu lilin yang berada didekat perapian untuk menerangi saat memasak. Dan saat makanan itu sudah siap, akan ada lagi satu lilin  di tengah-tengah hidangan yang sudah siap untuk disantap.

Ini kali pertama untuk kami menjalani puasa ditengah-tengah keterbatasan air, sinyal dan listrik. Sebagian orang akan berpikir ini sebagai suatu kesulitan hidup. Tapi bagi kami dan warga-warga disini tidak demikian, nyatanya mereka masih bisa bertahan hidup dan baik-baik saja dalam menjalani hidupnya.

Menjalani kehidupan dengan segala keterbatasan ini merupakan suatu kesenangan untuk kami. Kesenangan yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Di tanah rantau seperti ini semakin nyata bahwa Allah membalas niatan baik kita dengan mempertemukan kita dengan orang-orang yang baik pula

Penulis:

Ani, Spd

Guru SDN Jorok Tiram, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB

Sekolah Guru Indonesia

Terpopuler