REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani menilai pengubahan sistem pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR yang dilakukan lewat pengesahan Rancangan Undangan-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) sebagai bentuk penzaliman terhadap suara rakyat.
Puan menilai posisi pimpinan DPR mestinya menjadi hak PDI Perjuangan sebagai partai peraih kursi terbanyak dalam pemilu.
"Apapun ini sudah terjadi. Penzaliman terhadap suara rakyat," kata Puan kepada wartawan usai memimpin aksi keluar sidang paripurna (walkout) Fraksi PDI Perjuangan di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (8/7).
Puan mengatakan, pengubahan sistem pemilihan pimpinan DPR sebagai bentuk tirani mayoritas dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. Fraksi PDI Perjuangan merasa hak mereka untuk menjadi ketua DPR diganjal dengan cara tidak adil. "Ini menyalahi pesta demokrasi. Ini sesuatu yang tidak adil," ujarnya.
Sikap fraksi-fraksi yang ingin sistem pemilihan pimpinan DPR diubah dianggap Puan sebagai bentuk hilangnya rasa saling menghormati di kalangan partai politik. Ini karena pada 2009 Fraksi PDI Perjuangan menghormati Partai Demokrat sebagai peraih kursi DPR terbanyak menjadi ketua DPR.
"Jadi tidak ada lagi rasa hormat-menghormati dan menghargai di antara parpol yang ada di DPR," katanya.
Kendati begitu Puan menyatakan Fraksi PDI Perjuangan akan terus berusaha meraih kursi ketua DPR.
Sebagaimana diketahui DPR akhirnya mengesahkan RUU MD3 lewat pengambilan keputusan yang berlangsung alot di sidang paripurna. Salah satu implikasi dari pengesahan RUU MD3 adalah berubahnya mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang terdapat di Pasal 82 UU No 27 tahun 2009 tentang MD3.
Pimpinan DPR tidak lagi otomatis berasal dari partai politik peraih kursi terbanyak, melainkan dipilih langsung oleh seluruh anggota DPR secara paket melalui sidang paripurna.
"Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap," kata pimpinan sidang paripurna, Priyo Budi Santoso.