REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama ini, penduduk asli Australia, Aborigin,seringkali diidentikkan dengan mereka yang tinggal di pedalaman atau kepulauan Selat Torres. Namun lewat seni visual ‘message stick’, anggapan tersebut bisa dipatahkan. Sebelas karya seni warga Aborigin perkotaan ditampilkan dalam sebuah pameran yang digelar di tiga kota besar Indonesia.
Bersamaan dengan perayaan tersebut, Dewan Kebudayaan Internasional Australia mendatangkan 11 karya seni ‘message stick’ atau tongkat pembawa pesan, yang dibuat selama 25 tahun terakhir oleh seniman asli Aborigin, ketiga kota di Indonesia: Denpasar, Bandung, dan Jakarta. ‘Message stick’ adalah sarana komunikasi tradisional penduduk asli Aborijin yang terbuat dari sebilah kayu sepanjang 20-30 sentimeter. Pesan yang hendak disampaikan biasanya diukur di atas kayu tersebut.
Uniknya, kesebelas karya itu dibuat oleh seniman asli Aborigin yang tinggal di daerah perkotaan di seluruh Australia. Seluruh karya otentik tersebut memang berkisah tentang identitas penduduk asli Australia kontemporer.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengungkapkan, pameran yang menampilkan kesebelas karya seni visual itu diharapkan dapat memperdalam pemahaman masyarakat Indonesia tentang identitas budaya Australia modern.
“Hubungan pribadi dan budaya sungguh merupakan dasar hubungan Australia-Indonesia dan ‘message stick’ menghadirkan medium yang kuat di mana penduduk Indonesia dapat memperdalam pemahaman mereka tentang penduduk asli Australia kontemporer,” tutur Dubes Moriarty, baru-baru ini.
Salah satu dari 11 karya yang dipamerkan adalah karya seniman Julie Dowling yang bertajuk “The Ungrateful.” Karya Julie ini mengetengahkan pengalaman kerabat Aboriginnya yang sempat diambil dan diadopsi oleh keluarga kulit putih pada usia 2 tahun.
Julie mengisahkan, beberapa tahun setelah sang kerabat diambil, ia akhirnya dikembalikan oleh keluarga kulit putih tersebut dengan alasan sang kerabat adalah anak yang manja dan sulit diatur. Lewat karyanya Julie ingin menyampaikan 'siapakah yang sebenarnya ‘tak bersyukur’, sang keluarga kulit putih pengadopsi atau sang kerabat berkulit hitam yang diadopsi?'.
Debra Yatim, salah seorang pengunjung pameran di D’Gallerie, mengungkapkan ketertarikannya atas karya seni buatan penduduk Aborigin ini. Menurutnya, karya Julie dan 10 seniman lainnya dapat memberi wawasan baru kepada orang Indonesia yang tak begitu paham mengenai budaya Australia.
“Saya senang sekali DFAT Australia punya inistiatif untuk menyelenggarakan ini. Kita kan dua negara bertetangga tapi tidak terlalu kenal, ibaratnya seperti anak SD yang duduk sebelahan tapi ada tongkat pemisah di tengahnya, jadi sama-sama tidak saling tahu. Jadi ini sarana yang bagus," ujar Debra kepada Nurina Savitri dari ABC International.
Dr. Nicholas Hemay dari Universitas Deakin, yang ditemui ABC dalam acara pembukaan pameran di D'Gallerie, mengamini pengalaman Robert. Nicholas mengutarakan, ada banyak penduduk Aborigin yang masih bertanya-tanya mengenai identitas mereka. Beruntung, zaman kini telah berubah.
Kepada Nurina Savitri, ia mengatakan, "Seni visual ini merayakan kebebasan berekspresi orang Aborigin. Namun selain itu juga menunjukkan bakat orang Aborigin, dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Karya seni ini adalah saluran yang pas untuk mengekspresikan kondisi itu."
“Kakek saya pernah dipenjarakan karena pergi ke kota. Itu terjadi 40 atau 50 tahun lalu, masih tak tergolong lama sebenarnya. Dulu, orang Aborigin tak boleh pergi ke kota," kenangnya.