REPUBLIKA.CO.ID, YANGON-- Empat jurnalis dan seorang eksekutif sebuah majalah Myanmar dihukum 10 tahun kerja paksa. Mereka dituduh melanggar rahasia negara karena mengklaim militer tengah membuat senjata kimia.
Keputusan tersebut mendapat kecaman dari media internasional dan kelompok pengawas hak asasi manusia. Menurut mereka, hal itu merupakan bukti mundurnya kebebasan pers secara drasti di Myanmar. Para jurnalis yang ditahan adalah Yazar Soe, Sithu Soe, Lu Maw Naing, dan Paing Thet Kyaw beserta kepala eksekutif Tint San. Kelimanya bekerja di majalah Unity Weekly.
Majalah itu kini sudah ditutup. Edisi Januari Unity Weekly menurunkan artikel mengenai dugaan militer Myanmar menyita ratusan hektare tanah untuk membangun pabrik senjata kimia. Pemerintah Myanmar sebelumnya membantah tuduhan menggunakan senjata kimia terhadap separatis.
"Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ) khawatir para jurnalis tersebut diadili di bawah UU mata-mata berusia 100 tahun dan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Hukuman ini menghancurkan ilusi pemerintahan Presiden Thein Sein memahami peran pers bebas dalam demokrasi," ujar Koordinator program Asia CPJ Bob Dietz, dikutip dari CNN, Sabtu (12/7).
Reporters Without Borders mengatakan tidak ada jurnalis yang dipenjara di Myanmar sejak 2012. Namun, mereka menjadi sasaran hukuman tahun ini. Sejumlah reporter dari media lokal menghadapi hukuman penjara tahun ini. Seorang jurnalis asing dideportasi setelah meliput aksi unjuk rasa menuntut kebebasan pers.