REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Pahrayangan Asep Warlan menilai pengesahan UU MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) terkesan dipaksakan. Banyak muatan yang dianggap justru bertolakbelakang dengan semangat untuk memperbaiki parlemen.
Asep mengatakan, banyak keanehan dalam revisi UU MD3 yang disahkan satu hari sebelum pemungutan suara pemilihan presiden itu. Karena itu, UU MD3 dinilai layak untuk diujimaterikan. "Satu-satunya jalan adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (13/7).
Dia menjelaskan, salah satu poin dari hasil revisi yang terlihat aneh adalah terkait dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam UU yang itu disebutkan bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap anggota dewan harus memperoleh izin melalui MKD.
"Kalau mereka (dewan) tidak mengizinkan apa yang terjadi? Ini sangat disayangkan dan terkesan menghalang-halangi," katanya. Tetapi kalau sekedar pemberitahuan, kata dia, itu tidak masalah.
Kemudian, kata dia, terkait dengan pemilihan ketua DPR yang harus dipilih oleh anggota dewan juga terkesan sangat kental dengan nuansa politis. Menurutnya, partai pemenang pemilu memang sudah seharusnya menjadi ketua DPR. Hal itu merupakan bonus dari mayoritas suara masyarakat dalam menyalurkan aspirasi. "Itu sangat logis sekali," ujarnya.
Dia menambahkan, upaya untuk mendemokratiskan lembaga legislatif memang perlu dilakukan. Tetapi tidak mengedepankan ego dari anggota dewan untuk berpikir pragmatis dan jangka pendek. "Pikiran (mendemokratiskan legislatif) itu memang perlu, tapi tidak begini caranya," katanya.