REPUBLIKA.CO.ID, Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang telah membaktikan hidupnya kepada Allah.
Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka.
Ketika para sahabatnya datang menjenguk ketika ia sakit, mereka berkata, "Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-teman sejawat anda."
Khabbab berkata sambil menangis, "Sungguh, aku tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi kalian telah mengingatkanku kepada para sahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga. Sedang kita masih tetap hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah."
Kemudian Khabbab menunjuk rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta kekayaannya. "Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya menghalangi siapa pun yang meminta," ujarnya.
Dan setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, air matanya mengalir.
"Lihatlah ini kain kafanku. Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah SAW ketika gugur sebagai salah seorang syuhada, hanyalah burdah berwarna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya?"
Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriyah. Dengan demikian, si pembuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengorbanan dalam Islam telah berpulang. (Shuwar min Hayatish Shahabah/101 Kisah Sahabat Nabi)