REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Jumlah dai di perbatasan masih sangat kurang.
Selama di Atambua, kendala yang paling dirasakan Tamamur, yakni sulitnya penerangan. Listrik di sana sangat terbatas, begitu juga transportasi untuk ke pelosok.
Mualaf di Atambua sendiri juga sangat sulit berjuang. Tamamur mengisahkan saat seorang menjadi mualaf tak sedikit yang diusir keluarga dan dicemooh masyarakat.
Beda di Atambua, beda pula di Sambas, Kalimantan Barat. Daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia ini semarak dalam menyambut Ramadhan.
Bahkan, menurut dai DDII di Sambas, Ustaz Satono, tak jarang ia juga mengisi dakwah di daerah Malaysia. “Penduduk Malaysia juga banyak shalat Jumat di Sambas,” kata Satono.
Di Sambas, 99,99 persen warganya Muslim Melayu. Masyarakat Indonesia dan Malaysia pun saling berdampingan dalam hidup beragama.
Pemerintah Kabupaten Sambas sangat mendukung kegiatan keagamaan di daerahnya. Ustaz Sartono memiliki lembaga pendidikan dakwah bagi putra daerah Sambas.
“Kami sediakan asrama untuk mendalami dakwah selama dua tahun, setelah itu mereka harus kembali ke daerahnya untuk menyebarkan dakwah,” ujarnya.
Ustaz Satono mengungkapkan dai yang disiapkannya diharapkan dapat mencapai tiga tujuan utama. Pertama, ikut serta mengawal pemerintah dalam menjaga kesatuan NKRI.
Kedua, ikut membantu mencerdaskan anak-anak bangsa dan ketiga, membina anak-anak perbatasan memberantas buta huruf Alquran. Setiap Ramadhan, Ustaz Satono bersama dai yang menetap di Sambas menyelenggarakan safari Ramadhan.
Kepala Pesantren Hidayatullah di Kabupaten Timika, Papua, Syakir, menambahkan, para dai di Papua saat ini tengah sibuk bersafari Ramadhan mengisi ceramah dari masjid ke masjid.