REPUBLIKA.CO.ID, Qais bin Saad adalah seorang pemuda lihai, banyak tipu muslihat, mahir, licin dan cerdik. Ia pernah berujar, "Kalau bukan karena Islam, aku sanggup membikin tipu muslihat yang tidak dapat ditandingi oleh orang Arab manapun!"
Pada Perang Shiffin, peperangan antara Ali dan Muawiyah, ia berdiri di pihak Ali. Maka duduklah ia merencanakan suatu tipu muslihat yang akan membinasakan Muawiyah dan para pengikutnya di suatu hari nanti.
Namun, ketika ia menyadari bahwa muslihat itu sangat jahat dan berbahaya, ia pun teringat akan firman Allah, "Dan tipu daya jahat itu akan kembali menimpa orangnya sendiri." (QS. Fathir: 43).
Maka ia pun segera membatalkan rencana tersebut sambil memohon ampun kepada Allah, seolah-olah mulutnya berkata, "Demi Allah, seandainya Muawiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita."
Sesungguhnya pemuda Anshar dari Suku Khazraj ini adalah dari golongan pemimpin besar, yang mewariskan sifat-sifat mulia. Ia putra Saad bin Ubadah, seorang pemimpin Khazraj.
Tak ada perangai lain pada dirinya yang lebih menonjol dari kecerdikannya kecuali kedermawanannya. Dermawan dan pemurah bukanlah merupakan perangai baru bagi Qais. Sebab, ia adalah keturunan orang-orang yang dikenal dermawan dan pemurah.
Suatu hari, Umar bin Al-Khathab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq bercakap-cakap seputar kedermawanan Qais. "Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, niscaya akan habis licin harta orang tuanya," kata Umar.
Pembicaraan tentang Qais itu sampai kepada sang ayah, Saad bin Ubadah. "Siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Diajarnya anakku kikir dengan memperalat namaku," kata Saad.
Selain itu, Qais bin Saad juga terkenal dengan keberanian di medan juang. Ia turut membela Rasulullah SAW—dengan gagah berani— dalam setiap pertempuran, ketika beliau masih hidup. Dan kemasyhuran itu bersambung pada pertempuran-pertempuran yang dijalaninya setelah Rasulullah wafat.