REPUBLIKA.CO.ID, AUSTRALIA -- Menurut kelompok non-profit asal negara bagian Victoria, ‘Good Shepherd’, ratusan perempuan di Australia masih dipaksa untuk menikah walau praktek ini telah dinyatakan ilegal sejak setahun yang lalu.
Sementara itu, sebuah laporan organisasi non-profit (NGO) ‘Plan International’ Australia telah menemukan adanya 250 kasus di mana anak-anak dipaksa untuk menikah, dalam dua tahun belakangan. NGO itu menyebut, sulit untuk menentukan apakah pernikahan tersebut dilakukan di Australia, atau apakah mereka diterbangkan ke negara lain untuk upacara pernikahan itu dan lantas kembali pulang, karena kebanyakan kasus ini tak dilaporkan.
Dua tahun lalu, seorang pengungsi Afghanistan berusia 16 tahun, yang ingin disebut sebagai Ayan karena takut akan keselamatannya, diterbangkan ke Pakistan untuk sebuah liburan keluarga dan lalu dipaksa untuk menikahi seorang pria yang tak pernah ia temui sebelumnya.
“Ketika saya pergi ke sana, segalanya terjadi begitu cepat. Ketika saya menandatangani dokumen nikah, saya tak mengetahui bahwa itu adalah dokumen nikah,” begitu pengakuan Ayan, baru-baru ini.
Ia tak berbicara dalam dialek yang sama dengan suaminya sehingga mereka tak bisa berkomunikasi.
Ia dipaksa tinggal di Pakistan selama 4 bulan.
“Selama periode itu, saya benar-benar menderita karena tak ada orang yang mendengarkan saya,” kisahnya.
Ayan kini telah bercerai, namun itu terjadi setelah ia menjauh selama bertahun-tahun dari keluarganya.
“Saya adalah aib bagi mereka. Saya tadinya mau dikeluarkan dari keluarga. Itu adalah pertama kalinya di keluarga saya, seseorang melakukan tindakan seperti yang saya lakukan,” urainya.
Perempuan harus diajarkan bahwa nikah paksa adalah sebuah kesalahan
Organisasi ‘Good Shepherd’ secara rutin melihat korban dari nikah paksa yang datang ke kantornya di Melbourne, sebagian besar besar adalah para perempuan yang juga memiliki kasus kekerasan rumah tangga.
Pimpinan organisasi ini, yakni Robyn Roberts, mengatakan, masalah ini belakangan banyak muncul.
“Sangat sulit bagi kita untuk memahami cakupan dan skala nikah paksa di Australia. Namun tentu saja bukti-bukti menyebut bahwa kasus ini terjadi di tengah masyarakat,” jelas Robyn.
Polisi federal telah menginvestigasi lebih dari puluhan kasus nikah paksa, sebagian besar meilbatkan gadis remaja.
Di bawah legislasi Persemakmuran yang disahkan setahun lalu, seseorang yang terlibat dalam tindakan nikah paksa, termasuk anggota keluarga dan penyelenggara pernikahan, bisa dipenjarakan 7 tahun jika terbukti.
Di negara bagian New South Wales, seorang pria berusia 62 tahun akan menghadapi persidangan terkait pernikahan yang menimpa putrinya yang berusia 12 tahun.
Pria itu dituduh mengatur pernikahan putrinya dengan pria berusia 26 tahun berkebangsaan Lebanon, dan mereka dinikahkan oleh seorang ustad di rumah sang ayah, pada bulan Januari lalu.
Di negara bagian Victoria, polisi belum menindak satu kasus-pun terkait undang-undang baru ini, namun Inspektur Polisi Rod Jouning mengatakan, beberapa kasus telah diinvestigasi.
“Kami sadar kasus ini banyak sekali yang tak dilaporkan dan banyak di antaranya terjadi di lingkungan keluarga,” ujarnya.
Polisi negara bagian Victoria tengah mengembangkan program bagi para anggotanya untuk dapat menangani kasus ini.
“Programnya belum dimulai namun segera dilakukan dan harapannya akan diberikan kepada tiap polisi di sini,” jelas Inspektur Rod.
Program pelatihan ini akan dimulai pada akhir tahun 2014 dan merupakan program yang akan disambut gembira oleh Ayan.
Ia berujar, pendidikan yang lebih dibutuhkan sehingga korban nikah paksa menyadari bahwa apa yang terjadi pada mereka adalah kesalahan.
“Budaya memaksa kita untuk patuh. Kita harus mendengarkan orang tua karena mereka lebih tua dan tahu apa yang terbaik bagi kita. Namun saya merasa itu sangat salah. Bagaimana bisa dibenarkan, tindakan yang memaksa saya untuk tidur di kamar yang sama dengan seseorang yang tak pernah dikenal dan tak bisa diajak komunikasi?,” urai Ayan.