REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sekitar 12 ribu ilmuwan HIV terkemuka, penyusun kebijakan dan aktivis dari seluruh dunia berkumpul di Melbourne, Australia. Para ilmuwan itu hadir dalam kegiatan konferensi AIDS internasional 2014, sepanjang pekan ini.
Konferensi itu membahas kemajuan apa yang telah tercapai dalam menangani dan memberantas virus HIV. Kawasan Sub-Sahara Afrika tetap merupakan kawasan yang paling serius dirundung wabah HIV, dan di Asia Pasifik sekitar 5 juta orang hidup dengan HIV.
Salah satunya adalah warga Australia Deanna Blegg, yang didiagnosa 20 tahun lalu ketika baru berusia 24 dan sedang keliling dunia. "Saya merasa jelek dan malu," katanya. "Saya merasa benar-benar kotor."
Di tahun 1994, HIV seperti hukuman mati - dimanapun di dunia."Saya diberi tahu, kalau saya bisa bertahan lima tahun, itu sudah termasuk lama Waktu itu belum ada pengobatan HIV."
Tapi dua tahun kemudian ada perawatan antiretroviral sehingga Deanna bisa bertahan hidup lebih lama. "Berkat perawatan itu sekarang saya masih hidup sehat," katanya, baru-baru ini.
Deanna bahkan masih ikut lomba lari dengan hambatan tingkat dunia - dan menang.
"Saya ingin melihat seberapa jauh kemampuan saya dan tubuh saya," katanya.
"Hidup dengan HIV merupakan satu lagi hambatan dalam hidup saya. Saya ingin mengalahkan itu dan terus maju dan menaklukkan berbagai tantangan lain."
Deanna tahu, ia termasuk yang beruntung - lahir di sebuah negara maju.
"Bagi orang yang hidup dengan HIV, Australia adalah salah-satu negara berbaik di dunia," katanya.
"Layanan kesehatan sangat baik, program-program pendidikan juga bagus sekali, begitu juga akses untuk mendapatkan perawatan."
Namun demikian, angka HIV di Australia kini pada tingkat tertinggi dalam 20 tahun, dengan lebih dari 26-ribu orang saat ini hidup dengan virus tersebut.
Tapi itu baru sebagian kecil dari 4,8 juta orang di kawasan Asia Pasifik, tiga-perempatnya di India, China dan Indonesia.
Banyak negara di Asia Pasifik telah mencapai sukses dalam mencegah infeksi baru di tahun-tahun belakangan ini. Angkanya turun sekitar 50 persen di beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Thailand.
Tidak demikian halnya dengan Pakistan dan Filipina. UNAIDS memperkirakan, jumlah infeksi melonjak drastis dalam delapan tahun.
Di Filipina, kasus infeksi baru HIV meningkat 425 persen antara 2005 dan 2013.
"Di Filipina, penyebabnya adalah hubungan seks antar pria dan penggunaan jarum suntik pengguna narkoba," Direktur Asia Pasifik UNAIDS, Steve Kraus, menjelaskan.
Pria Filipina, Inad Rendon, 29, adalah salah-satunya.
Ia baru tahu bahwa ia terinfeksi HIV ketika dirawat di RS karena penyakit yang berkaitan dengan AIDS tiga tahun lalu.
Berat badannya turun separuh. Dokter memberitahu bahwa ia mungkin akan mati.
Inad sebenarnya sudah menjalani tes HIV dua tahun sebelumnya setelah mendapat infeksi lain yang ditularkan melalui hubungan seks. "Saya tidak menanyakan hasilnya," katanya sambil tertawa.
"Saya takut hasilnya. Ini karena kurangnya informasi dan perhatian terhadap HIV. Orang tidak tahu kemana untuk mendapatkan pelayanan, bahkan tidak tahu pentingnya akses ke pelayanan itu."
Para pakar memperingatkan, tidak adanya akses yang mudah ke pelayanan dan informasi menghambat kemajuan dalam penanganan HIV di beberapa negara, termasuk Filipina.
"Tidak boleh ada orang yang mati oleh HIV karena mereka tidak tahu status mereka," kata Kraus.
"Tidak boleh ada orang yang mati karena ada undang-undang mengatakan bahwa itu karena perbuatan imoral dan salah."
Kraus mengatakan, wabah AIDS dapat dicegah, bahkan dihentikan, jika jumlah orang yang mendapat perawatan mencapai 80 persen.