REPUBLIKA.CO.ID, BANGUI -- Kelompok bersenjata di Republik Afrika Tengah telah menyepakati kesepakatan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik di negara tersebut. Kesepakatan tersebut ditandatangani di Kongo antara pemberontak Muslim Seleka dan milisi Kristen anti-Balaka.
Dilansir dari BBC, sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Seleka pun mencabut tuntutannya terkait partisi Republik Afrika Tengah, yang menyebutkan wilayah utara untuk Muslim dan wilayah selatan untuk Kristen. Akibat konflik ini, ribuan orang telah tewas dan hampir seperempat penduduk di negara tersebut telah mengungsi.
Warga Muslim terpaksa melarikan diri dari ibukota dan dari wilayah barat negara tersebut. Kelompok Hak Asasi Manusia pun menyebut peristiwa itu sebagai pembersihan etnis.
Kedua belah pihak telah dituduh melakukan kejahatan perang seperti penyiksaan dan pembunuhan. Negosiasi kesepakatan itu dimulai di ibukota Kongo, Brazzaville, pada Senin. “Kami telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata hari ini disaksikan semua orang. Komitmen kami tegas dan tak dapat diubah,” kata Mohamed Moussa Dhaffane yang memimpin delegasi Seleka.
Patrick Edouard Ngaissona, kepala tim negosiasi anti-Balaka, mengatakan setiap orang yang melanggar gencatan senjata akan ditahan. Presiden Kongo dan mediator pembicaraan, Denis Sassou Nguesso, mengatakan pembicaraan itu pun sukses digelar.
“Perjalanan panjang dimulai dengan langkah pertama. Brazzaville adalah langkah pertama itu,” katanya setelah kesepakatan tersebut ditandatangani. Pembicaraan lebih lanjut akan digelar di Republik Afrika Tengah untuk memutuskan pelucutan senjata dan transisi politik negara tersebut.
Krisis ini dimulai ketika pemberotak Muslim menguasai pemerintahan pada Maret tahun lalu. Di negara tersebut, penduduk Kristen merupakan penduduk mayoritas dengan presentase 50 persen. Warga Muslim pun hanya sebanyak 15 persen, dan 35 persennya warga penganut keyakinan adat.
Konflik negara ini terjadi setelah koalisi oposisi yang mayoritasnya adalah Muslim Seleka telah menggulingkan pemerintah Presiden Fancois Bozize. Mereka pun sempat berkuasa selama 10 bulan. Namun, kemudian mereka disingkirkan oleh kubu oposisi Kristen anti-Balaka. Mereka lah yang kemudian memerintah negara tersebut.
Permasalahan politik ini kemudian merembet menjadi masalah agama dan menyebabkan pembantaian terjadi. Kehadiran sekitar tujuh ribu penjaga perdamaian internasional juga dinyatakan telah gagal mengakhiri kekerasan dan serangan balasan.
Pada awal bulan ini, Amnesty Internasional menyebutkan setidaknya 20 orang diduga telah memerintahkan dan melakukan. Mereka pun meminta para pelaku diadili dibawah hukum internasional oleh pengadilan hibrida menggunakan pakar nasional dan internasional.