REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Rencana Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifuddin untuk melayani kelompok beragama dengan legal diapresiasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, Menag harus berkoordinasi dengan MUI agar penerapannya sesuai porsi.
"Menag dipersilakan melayani semua warga negaranya tanpa diskriminasi, tetapi harus sesuai porsi dan tempatnya masing-masing," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI HM Cholil Nafis kepada ROL beberapa waktu lalu.
Maksud dia, Menag atas nama negara memang harus melayani dan memperlakukan masyarakat dengan adil. Tapi tetap harus memperhatikan koridor. Sebab menurutnya, menyamakan pelayanan belum tentu disebut adil. Karena adil adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya.
Dikatakannya, ada beberapa kelompok dan organisasi yang menyimpang dan tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Ia menyatakan, ada kelompok-kelompok keagamaan yang menyimpang karena menganut paham takfiri atau mengkafir-kafirkan kelompok yang lain.
Misalnya, kelompok tertentu menganggap dirinya paling saleh, paling benar dan hanya dia yang masuk surga sementara yang lain di luar kelompoknya adalah kafir. Kelompok ini yang tidak bisa disamakan dengan kelompok mainstream makanya perlu dibina.
Dalam menyikapi kelompok tersebut, MUI memiliki dua sikap yakni dibina atau diamputasi alias dilarang melangsungkan kegiatan keagamaan karena dapat memecah-belah NKRI. "Selama dia masih ada peluang untuk mengakui mainstream dan NKRI, maka kita akan melakukan pembinaan, tapi ketika pembinaan tidak bisa, kita amputasi," ujarnya.
Ia mencontohkan, misalnya ada kelompok beragama yang dinilai menyimpang dan memasukkan nama Islam di dalamnya. Ketentuannya harus berdasarkan MUI sebagai payung organisasi tersebut. Maka dari itulah, Kemenag perlu berkomunikasi dengan MUI yang selama ini telah melakukan pembinaan terhadap beberapa Ormas yang menyimpang dan menyalahi perundang-undangan.
Rencana dialog Menag dengan kelompok beragama, lanjut dia, sebenarnya sudah terwakili dengan keberadaan MUI. Ia tidak setuju ada diskriminasi, tapi sekecil atau sebesar apapun penyimpangan, katanya, yang menentukan salah tidaknya institusi agama dikembalikan kepada MUI sebagai lembaga atau organisasi pusat keagamaan. "Jadi negara tidak bisa melegaliasi," katanya.