REPUBLIKA.CO.ID, TOBRUK -- Dewan Perwakilan Rakyat yang baru terpilih di Libia mengadakan sidang pertamanya Sabtu (2/8), di satu hotel yang dijaga ketat. Sementara faksi-faksi bersenjata mengubah dua kota besar, Tripoli dan Benghazi, menjadi medan tempur.
Pemerintah-pemerintah Barat, yang sebagian besar mengevakuasi para diplomat mereka setelah dua pekan pertempuran, berharap parlemen baru dapat menciptakan ruang bagi negosiasi, setelah bentrokan-bentrokan terburuk sejak perang tahun 2011 yang menggulingkan Muammar Gaddafi.
Tetapi belum ada tanda-tanda reda pertempuran di Tripoli, ibu kota Libia. Asap hitam membubung di ruang udara bagian selatan kota itu sekali lagi pada Sabtu setelah depot bahan bakar dekat bandar udara internasional diserang untuk kedua kali dalam sepekan. Brigade Zintan dan Misrata bertempur untuk menguasainya.
Pertempuran dengan menggunakan roket-roket, senjata antipesawat dan artileri berat di Tripoli dan Benghazi, kota di bagian timur Libia, telah merenggut lebih 200 jiwa dan membuat negara itu berada di jurang perang saudara berskala besar hanya tiga tahun setelah revolusi dukungan NATO.
Inggris menjadi pemerintah Barat yang paling akhir mengumumkan pihaknya akan menutup kedutaannya, takut terjebak dalam baku tembak.
Dengan tentara nasional yang masih berfungsi, Libia berjuang mengendalikan faksi-faksi bersenjata berat yang mengklaim diri sebagai mediator kekuatan de facto dalam transisi sejak kekuasaan di bawah satu orang Gaddafi.
Para anggota DPR yang terpilih pada Juni bertemu Sabtu untuk mengadakan sidang darurat di Tobruk, satu kota pesisir di sebelah timur Benghazi, tempat mereka diharapkan membentuk satu pemerintahan baru diharapkan akan menjadi langkah mengakhiri krisis itu.
"Tanah Air kami terbakar," kata Abu Bakar Baira, ketua parlemen sementara. Parlemen yang beranggota 200 orang akan mengadakan sidang resmi pertamanya untuk memilih presiden barunya pada Senin.