REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Pengurangan solar bersubsidi yang diterapkan pemerintah, berimbas pada para nelayan di Kabupaten Indramayu. Solar merupakan kebutuhan terbesar yang harus dikeluarkan nelayan saat melaut.
’’Harusnya pemerintah tidak mengurangi subsidi kepada nelayan yang merupakan sektor riil dan produktif, yang pelakunya masih menempati 25,14 persen penduduk miskin di Indonesia,’’ ujar Ketua HNSI Jabar, Ono Surono, kepada Republika, Senin (4/8).
Ono mengatakan, kegiatan penangkapan ikan, terutama yang dilakukan nelayan di Kabupaten Indramayu, selama ini dikelola dengan cara tradisional. Yakni menggunakan pola bagi hasil 50:50 atau 60:40 antara pemilik dan nelayan yang menjadi anak buah kapal (ABK).
Biaya pembelian solar memakan 70 persen dari total biaya melaut. Dengan demikian, pengurangan solar bersubsidi itu dipastikan akan sangat berdampak kepada pendapatan nelayan. ‘’Dampaknya juga akan dirasakan para nelayan yang menjadi ABK,’’ tutur Ono.
Ono menilai, selama ini pemerintah/BPH Migas/Pertamina hanya membuat kebijakan dari belakang meja. Menurutnya, pemerintah/BPH Migas/Pertamina tidak pernah mau mengetahui masalah sebenarnya yang dialami nelayan di lapangan.
Ono menambahkan, pemerintah/BPH Migas/Pertamina hanya mendapatkan sumber informasi dari pelabuhan besar di Jakarta, Belawan, Tual, Bitung dan Cilacap.
Padahal, kapal nelayan di daerah-daeah itu sudah dikelola oleh perusahaan berbadan hukum dan nelayan ABK-nya mendapatkan gaji tetap.
‘’Jadi kenaikan harga BBM di sana tidak berpengaruh pada pendapatan nelayan secara langsung,’’ terang caleg terpilih DPR RI dari PDIP tersebut.
Namun, lanjut Ono, jika pengurangan subsidi BBM sudah tidak bisa dihindari, maka pihaknya mengusulkan tiga pendekatan. Pertama, batas BBM subsidi diberikan kepada kapal maksimum 100 GT, dengan alokasi 25 KL per bulan.
Kedua, subsidi masih diberikan kepada nelayan/pemilik kapal yang menangkap ikan di zona-zona underfishing/ZEEI dengan ukuran kapal diatas 100 GT. Hal itu bertujuan untuk mencegah IUU fishing dan peningkatan produksi ikan nasional.
Ketiga, perusahaan kapal perikanan hendaknya memberikan honor dan gaji/kesejahteraan nelayan untuk hidup layak. Selama ini, nelayan yang kerja di kapal-kapal besar hanya bergaji Rp 1 juta – Rp 1,5 juta per bulan.
‘’Kesimpulannya, jangan sampai kebijakan energi pemerintah Indonesia menghasilkan peningkatan angka kemiskinan pada nelayan,’’ jelas Ono mengingatkan.