REPUBLIKA.CO.ID, Kehidupannya didedikasikan untuk mendidik umat dan menjadi guru dari sejumlah ulama terkemuka di Jakarta.
Nama KH M Syafi'i Hadzami begitu lekat di hati umat Islam, terutama masyarakat Betawi. Kepakarannya di bidang ilmu agama sangat tersohor ketika itu. Ilmu agama yang ia miliki disebarluaskan kepada masyarakat, ibarat lentera yang tak henti-hentinya berbagi cahaya terang.
Kepiawaian dalam agama tokoh yang lahir di Batu Tulis, Kebayoran, Jakarta Selatan, itu diwarisi dari sang kakek. Sejak kecil ia dititipkan oleh sang ayah agar tinggal bersama kakeknya untuk mendalami agama, seperti ilmu Alquran.
Bahkan, ia berhasil mengkhatamkan Alquran pada usia sembilan tahun dan mengajarkan kitab suci tersebut kepada kawan-kawannya.
Bakat ulama yang lahir dengan nama kecil Muhammad Syafi'i bin M Sholeh Raidi itu sebagai pendidik, terus terasah hingga dewasa. Banyak tokoh yang belakangan menjadi ulama terkemuka Betawi, belajar langsung kepada Syafi'i. Di antaranya, Ali bin Abd Rohman al-Habsyi atau dikenal dengan Habib Ali Kwitang dan Ali bin Husein al-Athas atau dikenal dengan Habib Ali Bungur.
Majelis taklim ulama yang lahir pada 31 Januari 1931 atau 12 Ramadhan 1349 Hijriah itu tersebar di lima wilayah ibu kota, bahkan sampai merambah ke daerah Jawa Barat. Setidaknya, 30 majelis taklim yang berada di bawah asuhannya. Atas keluasan cakrawala keilmuan yang ia miliki, ia kerap disanjung dengan pujian “Sumur yang tak pernah kering”.
Pembaruan
Meski tumbuh dan berkembang di lingkungan Islam tradisionalis, Syafi'i tak antipati terhadap perubahan. Ia sangat terbuka dengan pembaruan. Di tengah-tengah kehidupan yang dinamis, perlu penafsiran teks-teks agama yang selaras dengan tuntutan zaman.
Syafi'i meyakini pembaruan tersebut merupakan bentuk kontekstualisasi keagamaan. Di satu sisi, ia bersikap luwes dan tidak kaku, di saat yang sama ia tetap terbuka dari proses modernisasi. Asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan-persyaratan untuk itu.