Oleh: Hannan Putra
Ia tidak terganggu ketika bekerja di Papua sambil memakai hijab.
"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaat bagi orang lain." Hadis itulah yang terpatri di kalbu seorang Muslimah bernama Zaitun Humaira. Tidak cukup mengambil profesi mulia menjadi seorang dokter, ia pun melanjutkan pengabdiannya di daerah paling timur Indonesia, Tanah Papua.
Muslimah yang lahir di Banda Aceh, 15 Juli 1987, ini merampungkan program dokternya di Universitas Kuala Banda Aceh pada 2012.
Sungguh pilihan yang cukup berat baginya untuk melangkah jauh dari Aceh ke Papua. Dari ujung Barat Indonesia, sekarang tinggal di ujung Timur Indonesia. "Sampai saat ini, terkadang saya masih antara percaya dengan tidak bahwa saya telah memilih dan memutuskan untuk bertugas di Papua," tuturnya.
Baginya, bertugas di RSUD Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, merupakan suatu pengabdian bagi negeri dan agamanya. Ia tak menyesal. Baginya, di manapun ia mengabdi, insya Allah tetap akan mendapatkan ganjaran di sisi-Nya. Baik Papua maupun Aceh, keduanya sama-sama Indonesia.
"Bagi saya, Papua memiliki kesamaan dengan Aceh. Seperti, dalam hal psikologi masyarakat karena sama-sama daerah konflik. Papua juga merupakan daerah otonomi khusus, sama seperti Aceh, daerah asal saya," tutur anak kedua dari tiga bersaudara tersebut.
Setelah beberapa lama di Papua, ia pun mulai tertarik dengan perbedaan kultur, budaya, dan agama yang ada. Ada keunikan dan karakteristik tersendiri ketika melihat budaya Papua. "Itulah yang membuat saya memutuskan untuk memilih bertugas di ujung Indonesia timur ini," kata Zaitun.
Pluralisme dalam hal keberagamaan dan warisan sejarah nenek moyang serta kearifan lokal masyarakat Papua ini menjadi daya tarik bagi Muslimah yang aktif itu. "Inilah yang akhirnya membuat saya memilih untuk mengabdikan diri di sini."
Di samping itu, profesinya sebagai dokter sangatlah dihargai di Papua mengingat masih minimnya dokter dan paramedis di Bumi Cendrawasih itu. Ia mengatakan, saking dibutuhkannya dokter, banyak sekali salah kaprah soal tenaga kesehatan yang langsung ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. "Tak jarang saya mendengar di sini bahwa dokter itu adalah utusan Tuhan," tuturnya.