Sabtu 09 Aug 2014 07:54 WIB

Mbah Dalhar, Santri Pejuang Kemerdekaan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Chairul Akhmad
Mbah Dalhar (kanan).
Foto: Blogspot.com
Mbah Dalhar (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, Jiwa pejuang dan keberanian yang dimiliki diwarisi dari buyutnya yang merupakan panglima perang Pangeran Diponegoro.

KH Nahrowi Dalhar Watucongol atau yang lebih dikenal dengan sapaan Mbah Dalhar merupakan ulama karismatik yang juga pejuang kemerdekaan.

Lahir di kompleks Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, tentunya menempatkan Dalhar tumbuh dan berkembang dalam kehidupan pesantren yang sangat kental. Ayahnya bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.

Sang ayah, Abdurrahman, merupakan anak dari panglima perang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro, Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Abdurrahman besar dalam lingkungan pesantren di kawasan Muntilan. Pesantren didirikan ayahnya—kakek dari Mbah Dalhar.

Semasa kecil Dalhar, setelah ayahnya Abdurrahman melanjutkan kepemimpinan pesantren memindahkan pesantren ke wilayah Watucongol. Karenanya, sejak kecil Dalhar telah diarahkan oleh sang ayah dekat dengan kehidupan keagamaan dan mencintai ilmu-ilmu agama.

Hingga masa remaja dan dewasanya, Dalhar yang lahir pada Rabu, 12 Januari 1870 Masehi atau 10 Syawal 1286 Hijriah itu terus berpindah-pindah pondok pesantren demi memperdalam ilmu agama.

Pada saat remaja, Dalhar bersama putra tertua Kiai As Sayid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, dari Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen, hijrah untuk belajar ke Makkah. Selama berada di Tanah Suci, ia dikisahkan pernah melakukan khalwat atau menyepi untuk beribadah selama tiga tahun di suatu gua.

Setelah pulang dari Tanah Suci pada 1900 Masehi, Dalhar meneruskan pengelolaan pondok pesantren peninggalan orang tuanya di Watucongol. Ia pun ikut berkiprah memperjuangkan kemerdekaan. Pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang dari Yogyakarta dan wilayah Jawa bagian barat.

Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa. Bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda.

Mbah Dalhar wafat pada Rabu, 29 Ramadhan 1378 H atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Semasa hidupnya, telah banyak tokoh-tokoh ulama Jawa terkenal yang sempat berguru kepadanya. Di antaranya adalah KH Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki (Giriloyo).

Walaupun Mbah Dalhar telah tiada, jasa perjuangannya tetap abadi sampai sekarang, baik berbentuk Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, maupun kitab-kitab keagamaan karya beliau.

Kitab hasil karyanya yang terkenal, seperti Kitab Tanwirul Ma'an. Karya berbahasa Arab ini berisikan tentang tentang manaqib Syekh as-Sayid Abil Hasan 'Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar as-Syadzili al-Hasani, seorang imam dan salah seorang tokoh sentral di Tarekat Syadziliyah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement