REPUBLIKA.CO.ID, Sita mengisahkan, beberapa tempat seperti di Arab Saudi, ada istilah //as-siyasah an-najasah (politik adalah najis).
Di Turki sempat berkembang ungkapan audzubillahhiminasyaitannirajim waminassiyasah (kami berlindung pada Allah dari syaitan yang terkutuk dan dari politik).
"Masalahnya karena paradigma yang dikenal selama ini tentang politik adalah paradigma Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” ujarnya.
Itulah yang selama ini membuat perempuan menjauh dari politik. Selain itu, umumnya perempuan tidak tertarik untuk membahas soal-soal politik, apalagi terlibat di dalamnya. "Faktanya, perempuan tidak bisa dipisahkan dari politik.Secara fitrah kehadiran perempuan di politik memberi nuansa dengan unsur emosi dan idealismenya," katanya menerangkan.
Sita memaparkan, politik itu hakikatnya adalah choices, power, and influence, maka kehadiran perempuan di dunia politik menjadi sebuah keniscayaan. Perannya dalam keluarga pada umumnya membuat perempuan sebagai manajer rumah tangga.
Perempuan juga memiliki kekuasaan, otoritas, dan pengaruh di dalam pengambilan keputusan terkait urusan pengelolaan rumah tangga dan pendidikan anak-anak.
Jika dibawakan pada fungsi-fungsi legislatif, perempuan juga mempunyai peran cukup besar, seperti fungsi anggota dewan yang bertugas membuat perundang-undangan.
"Terkait dengan kebijakan. Seorang ibu paling paham dan terlibat dengan menentukan kebijakan di dalam keluarganya, menetapkan aturan-aturan bagi segenap anggota keluarganya yang berasal dari nilai-nilai Islam," ujarnya.
Anggota dewan juga punya fungsi anggaran yang juga sinkron dengan peran seorang ibu dalam mengatur anggaran rumah tangga. Di sisi lain, perempuan dalam rangka menjalankan tugas asasinya membina generasi masa depan.
Ia harus memiliki akses ke arah kebijakan karena mereka yang paling berkepentingan terhadap masalah pembentukan dan perubahan kebajikan. Menurutnya, perempuan harus punya akses pada kebijakan policy, misalnya, bila ada masalah anak.
Ia mencontohkan, bagaimana merealisasikan sebuah kota sebagai Kota Layak Anak (KLA). Perempuan paling mengerti bagaimana seorang anak bisa merasa aman, ramah, baik secara fisik maupun psikis.
"Jadi, jelas perempuan harus ikut serta dalam perjuangan politik karena jika taklim, pengajian, tarbiyah dimaksudkan untuk mengubah individu-individu, maka pejuangan politik mengubah sistem," paparnya.
Intinya, kata Sita, umat Islam pada umumnya dan ibu-ibu khususnya harus melek politik agar dapat memperjuangan nilai-nilai Islam untuk menjadi regulasi. "Agar masyarakat tidak dibodohi."