REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdi Lubis, menyatakan target rekrutmen Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah orang yang sudah tidak punya harapan untuk hidup karena tekanan struktural yang besar.
"Hal ini terjadi jika modus perjuangan ISIS sama dengan pola terorisme selama ini, yakni dengan 'suicide bomb' atau bom bunuh diri," tutur Rissalwan saat dihubungi ROL, Sabtu (9/8).
Orang miskin menjadi target utama rekrutmen karena sudah kehilangan harapan, tetapi hanya orang miskin karena faktor struktural, bukan faktor kultural. Artinya, lanjut Rissalwan, orang-orang yang selama ini dimarjinalkan secara sistemik dan struktural serta dihentikan aksesnya untuk menjadi sejahtera. "Orang-orang seperti ini sangat mudah untuk direkrut menjadi tenaga martir baru," papar Rissalwan.
Pendapat senada diungkapkan mantan Duta Besar RI untuk Keemiran Qatar, Abdul Wahid Maktub, saat dihubungi ROL, Sabtu (9/8). "Saya yakin selama Indonesia berada dalam situasi kemakmuran dan keadilan, maka ajaran jihad yang bersifat distruktif otomatis tidak akan bisa hidup dan berkembang," tutur Abdul Wahid.
Menurut Abdul Wahid, Bangsa Indonesia tidak perlu reaktif berlebihan tanpa memahami apa yang sebenarnya melatarbekangi munculnya keberadaan ISIS. "Seharusnya, kita perlu memahami mengapa doktrin dan pola gerakan ISIS itu penuh pesona," papar Abdul Wahid.
Abdul Wahid mengaku khawatir banyak pihak bereaksi berlebihan terhadap ISIS sehingga tidak mampu mengambil pelajaran, sisi positif dan hikmah dibalik fenomena ISIS.