Senin 11 Aug 2014 18:11 WIB

Ketika Raja Mengutamakan Tuhannya (2-habis)

 Beberapa abad, sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, banyak dinasti yang eksis di jazirah Arab.
Foto: Blog.silive.com
Beberapa abad, sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, banyak dinasti yang eksis di jazirah Arab.

Oleh: Nashih Nashrullah

Merasa penasaran, akhirnya al-Nu'man mendatangi sosok yang dimaksud itu. Sang Raja pun bertanya kepada sang bijak itu, mengapa ia mengunci lisannya dan tidak mau berkomentar apa pun.

Akhirnya, si bijak angkat bicara. “Jika Anda izinkan, aku akan segera berbicara,” kata dia. Izin akhirnya diberikan oleh sang Raja.

Si bijak berkata, “Bagaimana pendapat Anda, apakah segalanya yang Anda miliki sekarang adalah murni kepunyaanmu dan tidak akan sirna atau milik orang lain sebelum Anda yang lantas sirna dan beralih ke tangan Anda? Begitu seterusnya, akan hilang dari Anda?”

“Tidak, justru kepunyaan orang sebelumku, berlalu dan berpindah menjadi milikku, dan seterusnya akan hilang dariku,” jawab al-Nu'man.

“Lantas, mengapa Anda bahagia dengan sesuatu yang akan musnah dari Anda suatu saat dan hanya menjadi peninggalan sekelumit, padahal Anda banyak berharap dan bangga atasnya sepanjang masa?” kata si bijak yang diiringi dengan tangisan menderu al-Nu'man.

“Apa solusinya?” tanya sang Raja.

“Hanya ada dua pilihan, Anda tetap bertahan dengan kekayaan ini dan berusaha taat kepada Tuhanmu atau Anda tinggalkan sama sekali dan berangkat ke gunung, menyepi dari manusia, Anda menetap sendirian menyembah Tuhan hingga ajal menjemput,” kata si bijak.

“Jika aku melalukannya, apa pahala buatku?” tanya sang Raja.

“Bila Anda tempuh jalur itu, Anda berhak atas kehidupan yang tak pernah mati, masa muda yang tak akan tua, kesehatan abadi, dan kerajaan baru yang tak bisa runtuh,” ungkap si bijak.

“Wahai orang bijak, berarti apa yang aku lihat bakal fana dan sirna?” ujar al-Nu'man. Si bijak membenarkan dan segala apa yang dimiliki sekarang tidak pernah kekal.

“Kalau begitu, apa faedahnya jika fana? Demi Tuhan, aku akan mencari kehidupan yang kekal,” ujar al-Nu'man.

Ia pun akhirnya memutuskan menanggalkan posisinya sebagai raja. Ia tinggalkan gemerlap duniawi yang selama ini mewarnai hidupnya. Ia keluar dari istana saat berusia 29 tahun, mengenakan baju dari wol kasar, dan pergi menuju gunung untuk fokus menyembah Tuhan. Ia ditemani oleh si bijak.

Kisah ini segera menyebar dengan cepat di tengah-tengah masyarakat. Sebagian mencibir, tapi tak sedikit yang mendukung keputusan mulia itu. Guna mengisi kekosongan tampuk kepemimpinan, ia digantikan oleh putra mahkotanya, yaitu al-Mundhir.

Al-Nu'man dan sang bijak mengabdikan diri seumur hidup untuk mendapatkan keridhaan Tuhan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement