REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melalui Balai Besar Teknologi Pencegahan Pencemaran Industri (BBPTPPI) mendorong produksi garam rakyat dengan teknologi media isolator yang dikembangkan di empat daerah yakni Sumenep, Jawa Timur, Pati, Rembang, serta Jepara di Jawa Tengah.
"Teknologi ini baru dipatenkan pada 2013 dan saat ini dikembangkan di empat daerah sentra produksi garam rakyat," kata Kepala BBTPPI, Sudarto, di sela RITECH Expo 2014 Jakarta, Senin (11/8).
Pada pameran yang digelar Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Kementerian Riset dan Teknologi untuk memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional itu, Kemenperin mengenalkan pembuatan garam dengan media isolator pada meja kristalisasi kepada pengunjung.
Sudarto mengatakan dengan teknologi tersebut, petani dapat meningkatkan produksi dari 70 ton per hektare menjadi 100 ton per hektare dengan kualitas baik.
Para petani garam di Sumenep, kata dia, dengan teknologi manual media tanah dengan luas lahan 21,5 x 13 meter dapat menghasilkan 25 sampai 30 tombong. Satu tombong setara dengan 30 kilogram. Sedangkan teknologi media isolator, dengan luas lahan 21 x 8,5 meter mampu memproduksi 35 sampai 45 tombong.
"Dengan teknologi manual, kualitas garam agak kusam dan kotor sedangkan dengan media isolator bersih," katanya.
Kualitas garam yang dihasilkan otomatis berpengaruh terhadap harga jual. Garam yang dihasilkan dari produksi media tanah dijual Rp 10 ribu per kilogram, sedangkan dengan media isolator Rp 15 ribu per kilogram.
Sudarto menambahkan ada dua jenis garam yang dapat dihasilkan dengan teknologi tersebut yakni garam beryodium dan garam untuk industri.
Saat ini kata dia, kebutuhan garam nasional belum terpenuhi dengan produksi dalam negeri yang 70 persen diusahakan petani garam rakyat. Dengan kondisi tersebut, pemerintah masih mengimpor garam sebanyak 1,7 juta ton.
Garam yang diimpor menurutnya sebagian besar untuk kebutuhan industri di mana dengan garam produksi media tanah, masih diperlukan proses pencucian dan pemurniaan NHCl yang membutuhkan biaya tinggi.
"Kalau memproduksi garam dengan media isolator tidak perlu lagi pencucian dan pemurnian karena garam yang dihasilkan sudah bersih," ujarnya.
Sudarto menilai kendala dalam pengembangan teknologi ini adalah permodalan petani garam yang minim. Sementara dari sisis perbankan, usaha garam rakyat belum dipandang layak untuk diberikan pinjaman.
Untuk lahan setengah hektare, dibutuhkan modal Rp10 juta. Dengan modal tersebut, infrastruktur yang dibangun dapat bertahan selama lima tahun.
Sejumlah petani garam di Sumenep sudah beralih ke teknologi itu sejak 2009 dan hingga saat ini kondisi media isolator dengan meja kristalisasi itu masih berfungsi baik.
"Teknologi ini juga dapat menyesuaikan kondisi cuaca karena saat hujan bisa digulung, tapi kalau ada air tua atau air yang bisa dijadikan garam, meja bisa ditutup sehingga tetap panen," katanya.